Menjaga Harga Diri

2.5K 197 12
                                    

Sore, tepat pukul lima sore, Endah baru menampakkan batang hidungnya.

"Baru bangun tidur, Bu?" tanyaku. Apa lagi coba alasannya terlambat begini?

Dia hanya menjawab dengan cengiran, menguatkan dugaanku. Ah, padahal janji mau bawakan kasur bayi tepat setelah Ashar. Tapi, lihat, baru jam segini dia datang.

Setelah dia duduk dan menyerahkan kasur punya keponakannya yang tidak terpakai lagi, aku segera membuka dan meletakkan di lantai. Senangnya, ada tempat tidur untuk anakku dengan motif bintang warna kuning dipadu biru malam. Tidak main-main, kakaknya Endah juga memberikan satu set beserta bantal, dua guling, dan kelambunya.

"Bilangin makasih buat kakakmu, Dah."

Yang diajak bicara bukannya menyahut, malah sibuk membuka lipatan baju untuk anakku. Padahal aku baru saja selesai membereskannya.

"Aku tuh sering belanja pakaian bayi buat si Bunga, dan aku kenal kalau baju-baju ini mahal lho."

"Kalau yang kamu buka itu dikasih Mbak Gita, Kak Ezar, sama beberapa guru di sekolah ...." Sengaja tak kusambung kalimat itu, karena aku memang tidak tahu siapa lagi satu orang rahasia itu.

Tepat di umur kehamilan 28 minggu, ada seorang lelaki paruh baya datang dan mengantarkan beberapa baju bayi.

"Ini dari siapa sih, Paman, sebenarnya?" tanyaku pada lelaki itu, yang pada kedatangannya ketiga kali kuketahui bernama Saleh.

"Eh, eh, apa? Saya gak fokus soalnya ada orderan lagi ini."

"Ya sudah ... dilanjutkan aja, Paman."

Dia selalu datang setiap seminggu sekali. Awalnya membawa dua set baju, lalu di kali kedua membawakan peralatan makan bayi, dan ketiga membawakan kaus kaki dan sepatu bayi.

Setelah aku bertanya di hari itu, lelaki itu tak mau lagi lebih lama di teras rumahku. Jika selesai mengantar barang, dia akan lekas memacu gas kendaraannya untuk balik, keluar gang.

Belum selesai aku mengurai benang kusut itu, aku dikejutkan dengan dering telepon dan Gita.

"Jadi, kan, besok?"

"Pasti, dong."

Endah tetiba meminta aku mengeraskan voluma, rupanya ingin ikut bicara.

"Hai, Mbak Gitaaaaaa ...." Sudah jelas kalau Endah orangnya heboh begini.

"Eh, Dah, kamu besok ikut, kan?"

"Ah, gak bisa, Mbak. Besok aku tuh mau ...."

"Dia ada janji kencan," tukasku.

Endah lekas memelotot ke arahku, sementara yang di seberang telepon tertawa terbahak-bahak.

Setelah itu, Gita langsung menanyai Endah bagai wartawan handal. Caranya menuntut jawaban tepat seperti Najwa Shihab. Hal itu membuat Endah kelimpungan karena sejauh ini yang mengetahui kisah cintanya hanyalah aku.

Gita adalah sosok yang menyenangkan. Tak heran jika dia bisa lekas dekat dengan Endah. Walau kami jarang sekali bisa menemui ibu dokter satu itu. Jam tugasnya cukup padat. Perlu membuat jadwal sedemikian rupa agar bisa mengajaknya keluar.

****

Tepat setelah aku selesai bersiap, Gita datang. Dia mengetuk pintu dan kemudian kami pergi bersama menuju mall. Wanita yang umurnya tiga tahun lebih tua dari aku ini baru saja dapat gaji. Katanya, mau ngajak nonton. Kebetulan ada satu film horor terbaru yang sedang tranding, dan sepertinya sayang kalau tidak ditonton.

Saat kami datang, antrean sudah panjang sekali. Gita yang ambil alih masuk barisan, sedangkan aku hanya duduk menunggu di salah satu sudut ruangan.

"Gak dapat," ucapnya dengan langkah malas. "Ah, salahku gak ingat pesan online aja tadi sebelum ke sini. Bodoh benar, huh."

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang