Hampir sepekan Aiden mendiamkanku. Dan aku yang merasa amat terpuruk hanya bisa menenangkan diri di rumah. Sampai suatu hari Davira meneleponku, dia berujar bahwa dua hari lagi akan pergi ke Singapur bersama Tante Rika, sementara Fadlan harus tetap di kota ini, karena urusan kerja.
"Aku bisa titip Valda dan Vanila?"
"Iya, Kak. Tentu saja boleh," jawabku tanpa pikir panjang.
"Nanti kamu tinggal saja sulu di rumah kami. Segala keperluan kalian akan diurus oleh Mbak Uti dan Fadlan. Aku minta maaf sudah merepotkan kamu, Zil."
"Aku ini Bunda mereka. Kamu tenang saja, ya."
Dua hari kemudian aku pergi ke bandara. Syukur saja tidak terlambat. Langkahku cepat sembari menggendong Vano.
Setelah sampai di dekat mereka, aku ngos-ngosan. Dan Vano yang sangat bersemangat kuturunkan, dan kubiarkan dia melangkah mendekati Aiden.
"Wah, anak Ayah," Aiden menggendong putranya. Walau keadaannya lemah tapi dia masih saja melakukan itu. "Ayah mau berangkat kerja. Besok kamu tinggal sama Kak Valda dan Kak Vanila, ya."
Aiden menatap kedua putrinya yang sedari tadi tertunduk lesu. "Ingat, kalian selama tidak ada Ayah, jangan berbuat macam-macam. Jangan menyusahkan Bunda. Paham?"
Bukannya menjawab, dua putri kesayangannya itu terdiam sejenak sebelum memeluk erat ayah mereka. Mereka menangis sesegukan, dan Aiden menunduk dan membalas dekapan itu.
"Ayah nanti akan pulang lagi, kok. Ah, kenapa anak-anak Ayah cengeng begini?"
Setelah mampu menenangkan kedua putrinya, Aiden lantas berbicara denganku, hanya sekadar kalimat untuk titip anak-anak. Ah, di saat seperti ini dia masih saja mengkhawatirkan orang lain.
"Berjanjilah kau akan pulang dan kita akan menyelenggarakan pesta pernikahan kecil-kecilan di rumah saya."
Lelaki itu tertawa, suaranya terdengar renyah sekali di telingaku. "Dasar ... keras kepala."
"Saya belajar itu dari kamu."
Terakhir dia pamit dengan Gita, dokter yang selama ini selalu ada di sampingnya, dan usai mendengar percakapan mereka hari itu, aku semakin yakin bahwa hubungan yang terbangun di antara mereka memang sangat dekat.
"Terima kasih, Dokter Cantikku."
"Aku yakin kau pasti akan sembuh. Dan aku pastikan, kau akan hadir saat aku menikah nanti."
"Astaga ... calonnya saja belum dapat. Kau mencari yang seperti apa, hah?! Nanti kalau aku sudah sehat, akan aku carikan."
"Kalau boleh berharap, aku ingin lelaki seperti kamu, Kak."
Aiden geleng-geleng, kemudian memeluk wanita itu erat sekali. Dielusnya rambut Gita dengan lembut dan dia membisikkan sesuatu, yang aku sendiri tidak tahu kalimat apa yang ia sampaikan.
****
Pesawat sudah lepas landas, dan air mata masih saja membasahi kami, para wanita yang ditinggalkan ini.
Kuajak anak-anak untuk pulang. Bagaimanapun mereka harus istirahat malam ini, sebelum besok pagi kembali ke sekolah.
"Naiklah ke mobilku." Itu bukan tawaran, tapi dari nada suaranya lebih seperti paksaan..
Anak-anak kuletakkan di belakang dan aku duduk di sebelah Gita. Selama di perjalanan dia lebih banyak diam. Dia hanya menjawab pertanyaan anak-anak, lalu kembali membisu. Hingga sebelum kami sampai di depan pekarangan dan aku bersiap untuk masuk rumah, wanita itu kemudian mengajakku untuk bicara sebentar.
"Maaf," ucapnya tiba-tiba. "Aku tahu, sikapku akhir-akhir ini kurang ajar. Jujur saja, aku tuh iri sama kamu, Zil. Kamu bisa mendapatkan cinta begitu tulus dari dua lelaki sekaligus. Sementara aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA Nazila Ersha hanya perempuan biasa dari keluarga sederhana pula. Tidak ada yang menarik, selain kisah percintaannya dengan Ezar Wijaya. Mereka berdua mulai berniat untuk membawa hubungan ke tahap yang lebih serius. Namun sa...