Aku Tak Mengenalinya Lagi

3.9K 303 11
                                    

Dua bulan kemudian.

Aku mampu  menarik napas lega saat beberapa anak yang kuajari membaca di kelas dua sudah mulai memberi tanggapan bagus. Awalnya, karena tidak tega, guru kelas sebelumnya membiarkan beberapa anak agar tetap naik kelas, dengan catatan harus belajar lebih giat lagi masalah baca. Dan ini sudah menjadi rutinitas tiap tahun. Aku tak masalah. Lagipula ini bagian dari tanggung jawab.

Ada satu anak lelaki yang awalnya selalu membuatku rasanya ingin meledakkan kepala saja karena sangat susah diajari. Namun, hapi hari ini sosok itu tengah berdiri di depanku, membaca sebuah cerita dengan sangat lancar, walau ada beberapa kata yang dia ucap dengan terbata-bata. Dan saat itu aku akan mencondongkan badan dan membantunya mengeja, demi mempermudah si anak tersebut.

“Yeah, pintar banget sih, anak Ibu ini.”

Kalimatku dibalas dengan senyum yang amat menawan dari bibir si anak itu. Dengan wajah yang manis dan kulit sawo matang itu, terlihat betul gurat bahagia. Matanya memancarkan rona bangga. Nyatanya, aku  sudah terlalu paham bahwa anak di fase itu sangat perlu dukungan dan pujian. Terkadang, mereka memang selalu haus dengan setiap perhatian.

Melihat kemampuan siswa, aku sangat bangga dan dapat tenang karena PR besar sedikit lagi selesai. Tapi, aku tiba-tiba teringat dengan salah satu murid lesku, Vanila. Aku mendesah pelan setelah anak-anak mulai keluar kelas. Kepalaku kini berpikir keras tentang cara apa lagi yang harus aku gunakan untuk menangani si gadis kecil itu. Rasanya … sudah semua teknik aku gunakan, tapi hasilnya masih sangat minim. Hal itu diperparah dengan Aiden yang sesekali bertanya tentang kemajuan anaknya.

“Sudah sampai begini, kok anak saya belum ada kemajuan?” Kalimat Aiden kemarin sore masih terngiang di kepalaku. Rasanya ingin sekali  mengomel atau mencakar sekalian wajah yang penuh dengan keangkuhan itu.

“Pak ….” Aku susah payah menahan amarahnya. “Namanya juga anak dengan disleksia, ya harus penuh kesabaran. Bapak bisa, kan, percaya dengan saya?”

Bukannya menjawab, Aiden malah terdiam di tempatnya sambil memandangi wajah anaknya yang masih setia di ruang tamu, sementara dia dan aku berdiri di ambang pintu dengan wajah saling tegang.

“Pak?”

“Baik. Tapi ….”

“Kita usaha bersama, ya,” potongku. “Saya juga gak bisa kerja sendiri. Kalau cuman mengandalkan saya, ya gak bisa. Saya cuman ada di sini tiga kali dalam seminggu. Bapak yang ada sama dia setiap hari. Ajaklah dia baca setiap hari. Mungkin bisa dengan keg—”

“Kamu mengajari saya?”

“Pak … saya tahu, Bapak itu kerja. Tapi meluangkan waktu, apakah susah?” Habis sudah emosiku. Aku akhirnya mengucapkan semua kalimat itu dengan nada yang sangat ditekan.

Aiden menatap dalam mataku. Baginya, mungkin aku cukup berani dan kurang ajar untuk membentak dan melawan setiap kalimatnya.

“Kalau Bapak mau cari guru les yang lain, saya juga gak papa. Ikhlas. Ikhlas banget malah.”

Mengingat percakapan itu, selalu saja membuat jari-jariku terkepal sempurna. Dasar, orang sombong. Dan semenjak kemarin, aku jadi berpikir ulang, apakah aku memang harus memperpanjang masa les atau tidak. Memang, uang yang diberikan Aiden cukup besar. Aku akhir-akhir ini bisa memberikan Zulfa baju baru dan beberapa sembako untuk bahan masak di rumah. Asap dapur kini jauh lebih mengepul dan lauk di meja makan jauh lebih bervariasi pada setiap tanggal muda. Namun, bekerja di bawah tekanan juga bukanlah hal yang menyenangkan bagiku.

****

Datang ke acara reuni bukanlah hal yang menyenangkan bagiku. Itu bukan ajang silaturahmi, tapi lebih kepada waktu untuk pamer pencapaian. Sudah dua hari undangan reuni dari grup teater tidak pernah kugubris. Kalau saja bukan karena Endah—teman sekelas dan satu teater denganku—selalu mengirimkan pesan untuk ikut saja.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang