Sepeninggalnya wanita sihir itu, aku baru bisa bernapas lega. Ada sekaali kudengar pembicaraannya dengan Ezar di teras depan.
“Kamu kenapa masih saja tinggal di rumah ini? Saran Mama, cepat-cepat pergi cari kontrakan dan pergi dari sini.”
“Mama kira cari kontrakan yang nyaman dan murah itu mudah. Sudahlah, Ma, tidak apa-apa juga di antara kami.”
Aku sengaja hanya mendengrkan dari balik pintu.
“Aku benar-benar tidak habis piker, bagaimana bisa Mita itu mau punya menantu macam Zila yang ….”
“Ma, jangan mulai!” tukas Ezar.
“Kamu tahhu, wajahnya angkuh sekali. Ingin kuulek saja mukanya itu biar tahu rasa.”
Ya Allah, wanita satu itu sangat menguji iman. Nasib apa aku bisa ketemu lagi? Kuelus dada berulang kali sambil menarik napas dalam-dalam. Kalau tidak ingat keadaan sudah kulepaskan satu tamparan agar mulutnya lebih dijaga. Percuma punya Pendidikan dan strata sosial tinggi tapi minus akhlak.
Malamnya, selepas makan malam, Ezar menemuiku.
“Mama pasti ada bicara yang aneh-aneh sama kamu.”
“Sudahah … bukankah dari dulu siatnya memang begitu?” balasku ketus tanpa menoleh pada si lawan bicara. Tangan dan pandanganku fokus untuk mencuci piring kotor.
Tanpa dia tahu, padahal kepalaku selalu terngiang semua kalimat hinaan mamanya. Dan mengingat semua percakapan Ezar dan mamanya hari itu masih saja membuatku mengepalkan tangan.
“Ada apa, Sayang?” tanya Aiden yang duduk di sebelah.
“Eh, a-a-apa?”
“Tuh, filmnya sudah mau mulai.” Astaga, bisa-bisanya aku melamun.
Tak lama lampu ruangan dimatikan, layar mulai menampilkan film, dan aku segera memposisikan badan agar lebih nyaman. Hari ini Aiden mengajak menonton, jalan-jalan, dan makan di luar. Berdua. Iya, hanya berdua. Kalau bukan karena saran dari ibu mertua, mana pernah peka suamiku ini.
Sejak awal aku pasrah saja dengan semua apa yang dia mau, mulai dari pilihan film dengan genre horror. Lucu memang, di saat orang carinya referensi yang romantis, kami malah … ah, begitulah.
Setengah jam pemutaran aku masih bisa santai, tapi kemudian tak henti-hentinya aku berteriak bagai anak kecil.
“Aaaaah!” Erat sekali kupegang lengan Aiden. Mata sengaja ditenggelamkan. Sesekali kutengok, tapi kemudian keberanianku turun lagi ke level terbawah.
Keluar dari ruangan Aiden malah menertawakan semua sikapku. Katanya, aku tidak ada bedanya dengan anak-anak. Kalimatnya membuat bibirku cemberut sepanjang jalan pulang.
“Jahat, ih. Masih aja dibahas yang tadi itu!” Kulempar bantal ke arahnya.
“Yang jahat tuh kamu. Niat hati mau kencan, tapi tanganku malah memar begini.” Dia memperlihatkan hasil cakaranku saat menonton tadi. “Tidak kusangka, selain pemarah, tukang ngambek, kamu juga anarkis. Begini caranya aku makin takut untuk …”
“Untuk apa, hayo? Awas aja kalau pikirannya tentang cewek lain.”
“Mana ada. Ini nih, kebanyakan nonton sinetron azab, isi kepalanya drama banget.” Dia Kembali terkekeh. Tiba-tiba Aiden ikut duduk di ranjang, mendekat dan memegangi perutku. “Saya tuh mikir, kapan di perut kamu ada bayi. Perasaan kita udah usaha hampir tiap malam.”
“Memang kalau saya hamil, kamu maunya anak perempuan atau laki-laki?”
“Sebenarnya tidak masalah. Tapi kalau boleh, saya mau ada teman anak lelaki. Capek saja hidup di antara kalian para cewek yang super duper bawel. Atau lebih baik kembar saja sekalian? Langsung dua anak cowok.” Matanya mengerling dengan alis berulang kali naik-turun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA Nazila Ersha hanya perempuan biasa dari keluarga sederhana pula. Tidak ada yang menarik, selain kisah percintaannya dengan Ezar Wijaya. Mereka berdua mulai berniat untuk membawa hubungan ke tahap yang lebih serius. Namun sa...