Keluargaku Bukanlah Beban

3.7K 284 1
                                    

Katanya, penting sekali menata bagaimana masa lalu dan latar belakang seorang wanita, karena itulah yang menjadi penilaian orang nantinya. Benarkah demikian?

***

Katanya, wanita selalu mampu menyembunyikan perasaannya. Aku bisa saja bicara di hadapan teman-teman bahwa kabar pertunangan Ezar dengan kekasihnya sama sekali tidak menggangguku. Tapi nyatanya, setiap di perjalanan menggunakan motor matic ini selalu diisi dengan berbagai kenangan mengenai lelaki itu.

Setiap tempat, jalan, bahkan awan yang menghitam seperti hari ini saja berhasil menghadirkan memori tentang Ezar. Semua yang ada di sekitar seperti kaset yang memutar ulang semua kejadian yang pernah terjadi.

“Sayang, aku ini udah kaya tukang ojek aja,” ucap Ezar.

“Hmm … maksudnya?”

“Dari tadi dibawa naik motor, gak ada rangkul atau meluk dari belakang.”

Aku mengerucutkan bibir. Mo-dus. Bukannya mengikuti permintaannya, aku malah menepuk pundak Ezar dengan keras, sampai lelaki itu mengaduh. “Ganjen.”

“Sama pacar sendiri sah-sah saja.” Usai mengatakannya, Ezar tertawa keras. Dia ini … apakah tidak bisa membayangkan bagaimana dampaknya padaku. Bisa saja, pipiku saat ini. Benar saja, dapat kurasakan ada sengatan hangat dari pipi dan itu semua membuatku tak bisa bersuara lagi.

Aku lagi-lagi hanya bisa tertawa sumbang saat menyadari bahwa semua itu sekarang hanya menjadi kenangan. Sosok yang dulu selalu ada di dekatku, kini telah jauh, malah telah berada dalam pelukan gadis lain.

Siapa aku?

Aku kerap berpikir bahwa aku ini teramat bodoh karena berani sekali mendamba seseorang yang tak mungkin untuk diraih. Pertemuan bersama orang tua Ezar tiga tahun yang lalu, telah berhasil mengoyak seluruh kepercayaan diriku.

Saking terbawa suasana, aku tidak sadar lagi kalau jarakku kini dengan rumah Vanila sudah sangat dekat. Aku cepat-cepat mengerem laju motor, lantas memasuki pekarangan rumah itu yang pagarnya memang dibiarkan terbuka.

“Eh, Ibu sudah datang,” Mbak Suti menyapa dengan ramahnya. Wanita paruh baya itu memang punya sifat yang hangat dan ramah.

“Mana Vanila?”

Aku melihat sekitar, dan benar saja anak kecil itu tidak ada. Les yang dijalani anak itu memang baru dua minggu, dengan tiga kali pertemuan setiap minggunya. Aku sampai terbiasa mendengar suara nyaringnya itu menyambutku di depan teras dan menarik tanganku menuju ke ruang tamu. Terkadang aku berpikir, bagaimana bisa gadis kecil itu bisa sangat manja pada sosok yang baru saja dia temui.

“Tadi sih, main, Bu. Katanya, sebentar aja. Biasanya, setengah jam sebelum les juga sudah pulang.” Mbak Suti berkali-kali melihat sekitar dan luar pagar, kalau saja nona kecilnya akan pulang. Namun sayang, sosok yang ditunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Terhitung hampir lima belas menit aku duduk di salah satu kursi yang ada di teras bersama Mbak Suti demi menunggu kedatangan Vanila. Dan benar saja, di sela obrolan kami, terdengar tangisan yang lirih dan kami tahu itu suara Vanila. Di depan pagar, anak itu datang dengan mendorong sepedanya. Matanya sembap. Wajah dengan pipi cukup gembul itu kini berubah muram. Mbak Suti dan aku sontak berlari cepat ke arahnya.

“Ada apa, Sayang?” tanya Mbak Suti.

“Sakit ….” Vanila menangis semakin tersedu sambil memperlihatkan luka di lututnya. Darah itu masih mengalir di sana.

Mbak Suti bergerak cepat membawa ke ruang tamu dan membersihkan serta mengobati luka di kaki Vanila. Padahal, luka itu kecil, tapi Vanila memang sangat cengeng. Dan itu semua mengingatkanku dengan Zulfa.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang