Sepanjang perjalanan pulang hanya aku isi dengan bibir membisu. Wajah kualihkan ke arah jendela mobil, sebelah kiriku. Sementara Aiden sibuk di belakang kemudi.
Dia beberapa kali berdehem, seperti ingin memecah kesunyian, tapi aku tak beselera. Aku malah hanya bisa mengembuskan napas dengan membawa segala amarah.
"Maaf, saya baru bicara sekarang. Sudah lama saya ingin mengatakannya, agar tidak ada kesan kalau kamu belu kucing dalam karung."
Aku mendesah. Pasrah. Ya, aku sudah telanjur melakukan hal bodoh, kan? Dan dia juga sangat kurang ajar baru membuka semuanya di saat persiapan sudah 50 persen.
"La, bicaralah! Kamu mau marah atau memukuli saya ... saya akan terima itu."
"Sudahlah," ucapku seraya memutar kepala menghadapnya. Benar, apa juga yang harus kulakukan selain menerima semuanya? Membatalkan pernikahan adalah sebuah aib. Kasihan, Mama dan Ayah sudah cukup berbesar hati untuk mendengar semua gunjingan para tetangga, dan akan menjadi hal panas lagi kalau sampai semuanya malah dibatalkan.
"Saya menerima dia. Saya menerima kamu. Dan saya sangat sayang dengan Vanila. Saya rasa itu hal yang cukup. Hanya saja ... kenapa baru sekarang?"
"Dia baru mau saya ajak sekarang."
Aku menegakkan badan. Berusaha menyimak semua cerita yang dia urai di hadapanku. Dari percakapan itulah aku baru tahu kalau Valda sengaja dirawat oleh Kak Davira. Mereka tinggal di Banjarbaru, kota yang berjarak sekitar tiga puluh kilometer dari sini.
"Dia terlalu sayang sama mamanya. Dan sampai saat ini saya tidak bisa memenuhi semua kasih sayang yang dia perlukan." Aiden menepikan mobil. Jalanan di sini sangat sepi, paling-paling hanya menampilkan beberapa pengendara motor yang melaju membelah jalan. "Saya cukup bersyukur ada Davira yang mau menangani anak yang satu itu. Dan Davira adalah wanita yang sangat tulus dengannya. Ya, saya tahu, karena dia sampai saat ini dia belum dikaruniai momongan."
Aku langsung teringat pertemuan saat di apotek. "Bukankah Kak Davira sedang hamil?"
Aiden mengernyitkan dahi, lantas kuceritakan pertemuanku dengan Kak Davira beberapa bulan yang lalu.
"Tidak," Aiden menggeleng, "kami kemarin juga mengira dia hamil. Tapi ternyata ... Tuhan masih ingin dia pacaran dulu dengan suaminya." Aiden tertawa kecil di ujung kalimat. Tidak lepas. Hanya untuk mencairkan suasana. Aku paham betul dengan itu.
Aku mengangguk paham dan merasa simpati pada wanita itu. Menjalani lima tahun pernikahan tanpa kehadiran buah hati tentu menjadi cobaan yang sangat berat.
"Lala, saya harap kamu bisa bersabar dengan Valda. Saya tahu, kamu wanita yang tulus. Itulah yang membuat saya memilih kamu."
Kalimat dan tatapan mata Aiden yang penuh harap membuat getaran di salah satu sudut hatiku. Walau sampai saat ini hati dan kepalaku masih berusaha keras untuk mencerna dan menerima semua ini.
"Pak, boleh saya bertanya?"
Dia mengangguk, tanda setuju.
"Apakah setelah menikah saya masih boleh bekerja?" Pernikahan kami memang beberapa bulan lagi, tapi tak salahnya, kan, untuk membahas ini?
"Itu ...."
"Pak?"
"Iya." Aiden mengangguk dengan senyum di wajahnya. "Saya tidak akan menahan kamu."
Padahal aku sudah bersiap dengan segala kemungkinan terburuk. Yang aku tahu almarhumah istrinya adalah wanita yang sepenuhnya di rumah untuk mengurus rumah dan anak.
Aku segera memeluknya erat dengan mengucapkan terima kasih berulang kali. Dia menepuk pundakku sambil berujar kehabisan napas.
Astaga! Ternyata terlalu erat aku memeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA Nazila Ersha hanya perempuan biasa dari keluarga sederhana pula. Tidak ada yang menarik, selain kisah percintaannya dengan Ezar Wijaya. Mereka berdua mulai berniat untuk membawa hubungan ke tahap yang lebih serius. Namun sa...