Aku melangkah masuk kembali dan mendekati Vanila. Tante Mita—aku kembalikan saja sapaan itu seperti dulu mengingat tidak ada lagi hubungan di antara kami—melenggang keluar tabnpa sedikit pun menghiraukan salam dan sapaanku. Tak lama Aiden menyusul.
Masa bodoh dengan sikap mereka. Kehadiranku di sini hanya untuk Vanila. Titik.
“Vanila, dimakan dulu ya buburnya.”
“Suapin.” Anak gadisku ini duduk bersandar di kepala ranjang. Pipinya tak segembul terakhir kami bertemu. Kasihan ….
Dengan lembut aku menyuapi anak ini bubur dengan berbagai atraksi entah seperti pesawat terbang yang siap mendarat atau mengeluarkan segala macam rayuan agar dia mau membuka mulut lagi. Katanya, sudah kenyang. Tapi hanya tinggal dua sendok maka isi mangkok ini akan tandas.
“Adek maunya tidur sama Bunda,” rengeknya saat aku bersiap untuk pulang.
Dari sore aku di sini, dan sudah cukup lama tatapan Aiden yang tajam itu membuatku kikuk luar biasa. Sebentar kutengok lelaki itu yang sedari tadi hanya mengamati kami dari sofa. Dia mengangguk sebentar, pertanda mengizinkan. Lalu aku naik ke atas ranjang, ikut merebahkan badan sembari memeluk Vanila.
Setelah lima belas menit, gadis kecilku berhenti bicara. Matanya tertutup dan napasnya juga mulai teratur. Merasa sudah mulai nyenyak, aku perlahan turun dan bersiap untuk pulang.
“Tante, Zila pulang,” kuraih dan kucium punggung tangan wanita paruh baya itu. Dia baru saja masuk ke ruangan setelah menghabiskan salat isya di musala rumah sakit. Padahal, ruangan ini cukup besar. Tapi tanpa ditanya, aku juga tahu alasan sebenarnya wanita ini sedari tadi menjauhiku.
“Terima kasih sudah menjaga Vanila.” Sebelum aku benar-benar berpaling dari sosoknya, dia berbicara lagi, “Saya lihat kamu agak gendutan, Zil.”
Entah ada angin apa, Aiden lekas berdiri dan berkata, “Ma, aku antar dia dulu ke luar.”
***
Sepanjang koridor hanya ada kesunyian. Tidak ada yang membuka suara di antara kami. Aku terus melangkah tepat di sampingnya dengan mata melihat-lihat ke samping atau ke sembarang arah, asal jangan sampai tatapan kami berserobok.
Beberapa ruangan yang terbuka sedikit pintunya, menampilkan beberapa orang yang saling berbicara, melempar tawa. Ada juga sosok di kejauhan sana, kulihat para lelaki paruh baya memilih berdiri di luar ruangan, mereka berbicara sembari diselingi isapan rokok.
“Sampai sini saja, Pak. Sedikit lagi sudah sampai pintu keluar, kok,” ucapku dan dia hanya mengangguk. Seingatku, hari ini dia jauh lebih sedikit mengeluarkan kata-kata dan aku sepertinya harus terbiasa dengan hal itu untuk beberapa hari ke depan. “Apakah Tante tidak tahu tentang kehamilan saya?”
“Iya. Aku sengaja menutupinya ag—“
“Paham. Kalau sampai tahu, mungkin pikiran dan kesehatannya akan memburuk.” Pantas saja aku melihat gelagat Aiden yang aneh. “Besok setelah mengajar saya akan langsung ke sini. Kalau ada apa-apa dengan Vanila, Bapak bisa hubungi saya.”
Keesokannya Aiden menghubungiku, saat telepon kuangkat, kudapati suara Vanila. Dia menangis, merengek kencang sekali. “Bunda ke mana?”
Aku masih bersiap menuju sekolah, mematut diri di depan cermin seraya mengikat rambut. “Bunda harus kerja. Nanti pulang dari sekolah, Bunda ke sana lagi. Vanila makan yang banyak. Jangan nakal, dan jadi anak penurut sama Nenek, Mbak Uti, dan Ayah.”
“Bunda janji bakal datang?”
“Iya, Sayang … kan Bunda sudah bilang tadi. Sudah dulu, ya.” Lekas kututup sambungan. Mendengarkan rintihan sakit hatinya itu juga membuat jiwaku hancur. Aku tak kuat. Tak akan pernah bisa kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA Nazila Ersha hanya perempuan biasa dari keluarga sederhana pula. Tidak ada yang menarik, selain kisah percintaannya dengan Ezar Wijaya. Mereka berdua mulai berniat untuk membawa hubungan ke tahap yang lebih serius. Namun sa...