Jangan Diamkan Saya

2.2K 154 1
                                    

Valda dan Vanila saling pandang saat aku dan Aiden masuk ke kamar mereka. Tak seperti biasanya, kalua sudah pukul sepuluh atau Sembilan mereka pamit untuk tidur dan kami sudah sibuk juga dengan urusan masing-masing. Kali ini aku dan Aiden sengaja ke ruangan mereka  karena ada hal yang ingin disampaikan.

“Rencananya Ayah sama Bunda mau ajak kalian hari Minggu ini jalan-jalan ke ….”

“Maaf, Yah,” tukas Vanila, “akua da janji sama teman.”

Aiden mengangkat alis, seakan bertanya siapa sosok yang dia maksud.

“Itu lho, teman SD-ku … Qory. Ayah ingat?”

“Ok, baiklah.” Aiden menghela napas, sementara aku hanya bisa mengembuskan napas menyerah dengan keadaan lagi.

Padahal baru beberapa hari yang lalu aku mengajak Aiden untuk bersedia mengajakku ke taman yang ada di kabupaten sebelah. Tempat itu baru dibuka, letaknya ada di daerah pegunungan, ada beberapa kuda di sana, dan sejumlah pemandangan yang masih asri.

“Kalau begitu kita batalkan saja,” ucapku dengan hati yang teriris, “kita masih bisa jalan-jalan di lain waktu, bukan?” Sengaja kutatap wajah Aiden, dan dia melihatku balik dengan mata seakan bicara maaf dan mohon pengertian.

Aku memilih ke kamar, dan tak lama dia pun menyusul.

“Marah?” tanyanya sembari memegangi pundakku dari belakang. Mendapati pertanyaan itu aku awalnya hanya bisa melenguh bagai kerbau kelelahan.

“Enggak.” Aku sibuk  mengoleskan cream malam ke wajah dan mengakhiri ritual ini dengan memberi body lotion ke kulit tangan dan kaki. Tak ada sedikit pun niat untuk melihat dia dari balik cermin rias. “Aku mau tidur. Good night.” Segera aku berdiri lalu merebahkan badan di atas kasur dan menenggelamkan diri di dalam selimut.

“Saya itu kenal kamu, La,” dengan kurang ajarnya Aiden membuka selimutku dengan paksa.

“Syukurlah kalau kamu paham, Bang. Sudahlah … ini sudah ke sekian kalinya saya ngalah. Gak papa. Santai aja. Saya sudah mulai terbiasa, kok.”

Cup! Secepat kilat dia mencium keningku Sedetik, dua detik, dan tiga detik, aku sempat terdiam karena kaget dengan responsnya.

“Gak lucu!”

“Di rumah ini ada empat wanita. Kalian semua sering mendominasi. Dan dari keempat wanita ini, kamu dan Valda yang paling sulit saya taklukkan.”

Lagi dan lagi aku hanya bisa terdiam. Sebentar aku mencerna kalimatnya, dan mulai paham bahwa dia juga lelah dengan semua drama yang ada di rumah ini. Aku jadi sadar kalau di sini dia adalah orang yang paling dipusingkan atas segala hal yang terjadi.

Ditangkupnya pipiku dengan kedua tangannya. “Mau, kan, bersabar sedikit lagi?” Dan akhirnya aku hanya bisa menjawab pertanyaan itu dengan menganggukkan kepala.

****

Siang selepas dari sekolah dan rumah Ayah, kudapati ibu mertua tengah mengaduh sembari mengurut pergelangan kakinya di sofa ruang tamu. Tangannya yang putih tapi mulai keriput dan menampakkan urat itu bergerak pelan memijat dan mengoleskan minyak di kakinya.

Kupinta Vanila untuk mandi sore, sedang aku berjalan mendekati ibu mertua. “Sakit lagi?”

“Maklum, sendi-sendi Mama sudah mulai keropos.” Di saat seperti ini dia masih bisa tertawa ringan. Aku segera duduk di sebelahnya dan berganti mengurut kakinya. Ini bukan kali pertama dia mengalami hal demikian. Dan jika sudah demikian, setidaknya aku perlu waktu sekitar sepuluh menit untuk meijit kakinya dengan minyak atau balsam.

“Mama ngerepotin kamu, ya, Zil?”

“Ah, apa-apaan sih, Ma? Enggak, kok. Zila suka ngelakuin ini,” balasku sambil focus mengurut. Aku seperti seorang ahli saja, padahal asal urut saja. Kalau di rumah, mamaku juga sering sakit begini, dan aku yang tugas mengurut. Kalau Ayah keluhannya selalu masuk angin. Aku hanya perlu minyak dan uang koin. Hahaha ….

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang