Mendapatkan sepotong hati itu mudah. Tapi mempertahankannya yang sulit.
***
"Maaf, akhir-akhir ini saya memang emosional."
"Ada apa-apa, ngomong aja. Kayak yang dulu, Zil, saya selalu ada."
"Sudahlah. Saya mau turun dulu. Makasih sudah diantar." Sebelum kubuka pintu, sekilas aku berpaling lagi kepadanya. "Makasih juga untuk mendengarkan keluh kesah saya yang mungkin absurd untukmu."
"Santuy. Oh, iya, saya bakal lambat nanti pulangnya. Mungkin akan tengah malam. Bisa pinjam kunci rumah, supaya gak usah bangunin orang rumah?"
Kukeluarkan kunci dan menyerahkan kepadanya.
Di depan gerbang sekolah kulambaikan tangan melepas kepergiannya diiringi senyum semanis mungkin. Seperti dulu, usai bicara dengan Ezar, selalu saja berhasil meluluhkan semua kegundahanku. Bongkahan batu yang menyesakkanku, perlahan mencair.
Dan benar kata Ezar, aku hanya perlu waktu untuk berdamai dengan semua ini, dan berusaha lebih kuat lagi berbicara dengan Aiden. Didiamkan dalam waktu lama hanya membuatku nelangsa setengah mati. Gila benar lelaki satu itu. Dia yang awalnya orang asing, tapi mampu membuat hatiku naik-turun.
"Kamu kapan pulangnya, Bang?" tanyaku dari balik telepon.
"Ini saya lagi di jalan. Kamu mau dibawakan apa?"
"Bisa belikan martabak? Anak-anak dari tadi ngeyel, maunya makan itu aja katanya."
Usai menuruti maunya anak-anak untuk menghubungi ayah mereka, aku kembali dengan rutinitas membereskan baju anak-anak. Walau ada Mbak Uti, semua yang berkaitan dengan kamarku dan kamarnya anak-anak adalah urusanku. Bukannya tidak percaya, hanya saja aku bisa lebih tahu letak barang jika nanti mereka bertanya. Dan lama-lama berdiam diri di rumah ini yang ada aku bisa mati kebosanan.
"Sini, Bunda bantu!"
"Gak usah. Sudah mau selesai," ucap Valda seraya melipat baju terakhirnya dan memasukkannya ke dalam koper.
Tidak terasa sudah enam hari dia di sini, dan besok sudah harus pulang.
"Ayah masih marah?"
"Tenang aja. Kamu kaya gak tahu aja gimana ayah kamu itu," balasku. "Mana Vanila?"
"Di bawah. Sama Nenek."
****
Sosok yang ditunggu anak-anak datang dengan membawa bungkusan yang dijanjikan. Tidak main-main, Aiden sampai memesan tiga kotak martabak telur spesial.
Aku, anak-anak, Aiden, dan tak lupa Mbak Uti ikut menikmati makanan ini.
"Sayang aja Ezar lagi gak ada," ucap Aiden, "padahal dia doyan banget makan ini."
"Sisakan saja," balasku.
"Gak boleh! Aku mau makan semuanya," ucap Vanila lantang dengan mulut yang masih terisi makanan. Dia berkacak pinggang seakan bos di rumah ini.
"Rakus!" Valda merasa sebal dan menarik rambut adiknya yang terikat dua itu. Membuat Vanila pasti bersungut dan ingin membalas.
Baiklah, perang dunia dimulai.
Vanila tidak main-main. Dia memukuli badan Valda. Tak terima, Valda juga membalas. Astaga, aku harus menghentikan makan.
"Bang, bantu, dong!" Enak saja, dia malah jadi penonton.
Vanila sudah menangis kencang. Pecah juga lama-lama kepalaku. Mana sulit sekali untuk menarik badannya menjauh.
Aiden yang melihat keadaan sudah tidak kondusif, juga ikut mengamankan Valda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA Nazila Ersha hanya perempuan biasa dari keluarga sederhana pula. Tidak ada yang menarik, selain kisah percintaannya dengan Ezar Wijaya. Mereka berdua mulai berniat untuk membawa hubungan ke tahap yang lebih serius. Namun sa...