Tuhan, Apa Lagi Ini?

2.3K 185 23
                                    

4 bulan kemudian

Kondisi kehamilan tua seperti ini membuat semua gerakku semakin terbatas. Beraktivitas sedikit saja seperti mengajar di depan anak-anak dengan suara kencang akan membuatku ngos-ngosan. Setiap sepuluh menit aku harus duduk kembali, menarik napas dalam-dalam, seraya menyeka buliran keringat di wajah.

Malam hari yang seharusnya dipakai untuk istirahat, tidak bisa digunakan sepenuhnya dengan nikmat. Aku hanya bisa telentang dan memiringkan badan ke kiri dan ke kanan. Tak jarang pinggang dan punggung terasa sangat sakit. Sesekali aku meminta Zulfa untuk memijit sebentar.

"Boleh. Tapi, harus ada bayarannya."

Astaga, perempuan satu ini perhitungan sekali.

"Dek, masa sama Kakak sendiri kamu jahat begitu?"

"Kalau gak mau, ya sudah ... aku mau tidur lagi aja." Benar saja, dia kembali merebahkan badan dan memunggungiku.

Merasa tak bisa tidur setelah memejamkan mata hampir sejam, aku putuskan keluar, melangkah ke dapur mengambil air untuk minum.

"Ah, segarnya ...." Kututup botol, lantas memasukkannya lagi ke kulkas.

"Kenapa, Nak? Cucu Ayah ini lagi berulah, ya?" tanya Ayah diselingi tawa sesudahnya. Kemudian dia ikut duduk di sebelahku.

Sudah aku tebak, malam ini Ayah sengaja begadang karena ada pertandingan sepak bola. Kudengar sore tadi teman-temannya, tetangga sebelah rumah, saling mengatur waktu dan janji akan menonton bersama di pos ronda.

"Dari tadi nendang terus, Yah. Anak aku ini kayaknya cita-citanya mau jadi pemain sepak bola, deh."

Ayah tertawa puas sekali mendengar candaanku. Ah, aku padahal benar-benar kewalahan karena ulah cucunya ini.

Malam ini si kecil nendangnya kuat sekali. Kalau malam-malam kemarin aku dibuat bolak-balik WC sampai tengah malam. Kata Mama, itu hal biasa.

"Lelahnya seorang ibu hamil adalah rahmat. Inilah yang menjadikan pahala seorang ibu hamil tidak bisa dikira-kira," ucap Mama siang tadi sambil memotong kain untuk pesanan orang.

"Kamu lapar? Sini, biar Ayah masak." Lelaki paruh baya itu bersiap berdiri, tapi lekas kucegah dengan memegang pergelangannya kuat-kuat.

"Enggak, kok." Ayah kembali duduk. Aku kembali sebentar ke kamar, lalu menyodorkan amplop gaji ke hadapannya. "Maaf, Zila cuma bisa kasih segini."

Gaji dari mengajar di SD hanya dihargai empat ratus ribu. Setengahnya aku pakai untuk biaya bensin dan keperluan mendadak lainnya. Dan sisanya aku serahkan kepada orang tua untuk tambahan uang dapur. Selepas bercerai aku sempat mengajar privat, tapi mengingat kondisi yang tidak memungkinkan, Ayah meminta berhenti.

"Kamu simpan saja uangnya," Ayah mengembalikan lagi amplop itu ke tanganku, "lebih baik dipakai untuk beli keperluan anak kamu, Zil."

Detik berikutnya terjadi aksi dorong-dorongan kecil di antara kami.

"Zila udah sisain, kok, Yah, buat si kecil ini. Sekarang, Ayah terima ini, ya."

Aku tahu, Ayah berat hati untuk menerima. Belum sempat aku ingin melangkah kembali ke kamar, Ayah mengajakku untuk duduk lagi, kali ini duduk di teras depan.

Setidaknya menemaninya mengobrol seraya menunggu teman-temannya memanggil.

****

Pagi ini aku mematut diri di depan cermin lebih lama dari biasanya. Aku sebenarnya sudah siap untuk berangkat dengan atasn putih, rok hitam, dan rambut yang diikat bagai kuncir kuda. Semua persiapan seperti formulir dan kartu identitas juga sudah kubawa.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang