Setelah menitipkan Vano pada Ezar, aku berlari cepat menuju ruangan tempat Aiden dirawat. Di depan pintu itu tanganku gemetar luar biasa. Aku enyahkan sejauh mungkin rasa malu. Bagaimanapun aku tak bisa dibuat seperti ini.
Belum sempat aku membuka pintu dengan sempurna, kulihat Aiden yang bersandar di kepala ranjang dengan keadaan lemah itu sedang berbicara serius dengan mamanya.
Tante Mita duduk di kursi, tepat di samping anaknya. Tangannya mengelus-elus pergelangan anaknya, serata berbicara, bahwa semuanya akan baik-baik saja dan tidak usah khawatir tentang Vanila dan Valda karena sudah ada yang urus.
"Maaf karena Aiden selalu merepotkan Mama."
"Tidak. Mama tidak pernah merasa direpotkan. Kamu itu anak Mama yang baik. Anggap saja sakit ini adalah cara supaya kamu bisa istirahat. Selam ini kan, kamu selalu bekerja, bekerja, dan bekerja demi keluarga."
"Ma ...."
Belum sempat Aiden mengucapkan sesuatu, Tante Mita lekas memotong.
"Dengar, kalau ada seribu wanita yang menyukaimu, maka Mama adalah wanita pertama. Kalau di dunia ini hanya ada satu orang yang menyayangimu, maka itulah Mama. Dan kalau tidak ada yang mencintaimu, itu berarti Mama sudah tidak ada."
Aiden menggelengkan kepalanya dengan lemah dengan deraian air mata.
"Seharusnya Aiden yang jaga Mama."
"Sudah ... jangan ngomong begitu. Malas Mama dengarnya."
"Ma, kalau ada apa-apa denganku, tolong jaga Valda dan Vanila. Mereka selama ini hanya punya aku setelah Evelyn pergi." Setetes air mata Aiden jatuh membasahi pipi, begitu pula denganku yang masih berdiri di ujung pintu.
Tante Mita tidak menyahut, dia hanya bisa mengangguk. Tak lama wanita itu berjalan keluar dan aku segera menjauh, bersembunyi agar dia tidak melihat keberadaanku.
Kulihat wanita itu melangkah cepat sembari mengusap sapu tangan ke pipi dan matanya.
Setelah memastikan punggung wanita itu menjauh, aku segera menemui Aiden di ruangannya. Dia masih menyeka air matanya saat aku berdiri tepat di depannya.
"Lancang sekali kamu masuk! Keluar!"
Aku bergeming. Tidak. Tidak akan kubiarkan kali ini dia yang mendominasi.
"La ...," dengan napas yang terengah dia masih bersikeras untuk bersuara, "saya ingin istirahat. Kamu bisa keluar, kan?"
Aku tidak akan mau menuruti kalimatnya.
Kulangkahkan kaki mendekat dan tepat di sebelah ranjang, kutundukkan wajah agar bisa lebih dekat.
"Kenapa kamu sekasar ini? Kenapa kamu seegois ini, Bang?"
"Keluar!" suaranya datar dan terdengar dingin di telinga, lantas dia memalingkan wajahnya dariku.
"Selama ini kamu anggap saya itu apa, sih, Bang? Tolong, jawab!" suaraku getir tapi sayangnya tak mendapat jawaban.
Detak jarum jam terdengar jelas, sedangkan lelaki ini masih saja dalam kebisuannya. Tidak tahukah dia bahwa di hatiku ada begitu banyak petir yang menyala dan guntur menggelegar bergantian?
Tak mendapat respons apa-apa aku kemudian pergi membawa hati yang teriris dengan rasa perih begitu dalam.
"Zil?"
Ezar menatapku dengan wajah seakan bertanya "Ada apa?" tapi aku hanya bisa terdiam. Kemudian setetes air mata jatuh jua, sebagai bahasa atas rasa sakitku yang tidak terkira.
Dia melangkah cepat kemudian memelukku erat.
"Kenapa dia jahat sekali padaku, Kak?"
Seperti ada ratusan jarum yang tiba-tiba saja berhasil memberi tusukan. Perih, sakit, dan membuat air mataku semakin deras. Kemudian aku meraung bagai anak kecil dalam dekapan Ezar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]
RomantikFOLLOW DULU SEBELUM BACA Nazila Ersha hanya perempuan biasa dari keluarga sederhana pula. Tidak ada yang menarik, selain kisah percintaannya dengan Ezar Wijaya. Mereka berdua mulai berniat untuk membawa hubungan ke tahap yang lebih serius. Namun sa...