Mengikhlaskan Hati

4.1K 290 5
                                    

Baru juga aku masuk ke dalam rumah, dan berniat untuk istirahat sebentar sebelum waktu salat Maghrib tiba. Ibu selalu tahu dengan keadaan anaknya ini, tak heran jika dia memilih untuk diam dan membiarkanku istirahat sebentar walau hari sudah senja begini. Tapi tidak dengan Zulfa.

Terhitung baru tiga menit aku merebahkan badan, aku sudah dibuat terkejut oleh kedatangan Zulfa yang tiba-tiba dan membuka pintu dengan sangat cepat.

"Kak, jalan-jalan, yuk. Zulfa malas di rumah," ucap adikku dengan nada memohon sembari menarik-narik lenganku.

Setengah malas, aku bangun dan menatap dengan wajah yang sepertinya amat kusam. Kalau saja bukan saudara sendiri, ingin rasanya aku marah-marah. Kalimat nasihat Ayah masih terngiang di telingaku, dan itulah yang membuatku menahan diri dengan setiap Zulfa.

"Habis Isya saja," balasku dan dibalas dengan wajah cemberut Zulfa. Dia tidak rela menunggu selama itu.

"Tuh, dengar, azan Maghrib. Kita salat, ngaji, terus makan. Nanti selesai Isya baru berangkat."

Zulfa lagi-lagi menarik napas kesal.

Yang namanya janji harus ditepati, bukan? Aku bukan orang yang akan ingkar, walau janji itu hanya sesuatu yang sederhana.

Setelah salat Isya, aku langsung mengajak Zulfa menuju festival yang sedang diadakan di dekat alun-alun. Para pedagang sibuk berjualan di stand masing-masing. Ada yang menjajakan berbagai aneka jajanan, souvenir unik, dan juga pakaian dengan harga murah meriah. Banyak warga yang berhadir, dengan membawa teman, keluarga, saudara, atau kekasih. Beberapa sibuk mencari pengganjal perut, sedang yang lainnya sibuk mengamati perahu-perahu yang dihiasi berbagai ornamen dan lampu yang bergama. Membuat sungai yang terletak di tengah kota itu menjadi pusat perhatian warga untuk sementara waktu. Acara itu dilaksanakan setiap tahun dalam rangka hari jadi kota.

Selama di sana, aku tak sekali pun melepas pandangan dari Zulfa. Akan menjadi hal yang mengkhawatirkan kalau gadis itu sampai hilang di tengah kerumunan yang demikian. Sementara si manja itu sibuk menatap sekitar sambil menimbang makanan apa yang akan dimakan. Perhatiannya tiba-tiba tertuju pada aneka kue dengan cita rasa manis dan minuman kekinian bernama Thai Tea.

"Boleh beli yang itu?" tanya Zulfa hati-hati.

Aku hanya menjawab dengan berupa anggukan dengan diiringi senyum. Sebelum mulai melangkah mendekati stand, aku mengintip sebentar isi dompet, syukur saja kemarin gajian dari tempatku mengajar bimbingan belajar. Uang seratus ribuan beberapa lembar berjejer rapi di dompetku, memberi napas lega untukku dan juga senyum yang tentunya lebih merekah di bibir Adik.

Zulfa tak sabaran menunggu hingga beberapa kali mendesak si penjual untuk lebih cepat. Aku hanya tertawa kecil, namun tidak dengan sepasang kekasih yang berada tepat di sebelah kami.

Si lelaki dengan celana denim dan kaus abu-abu memberi senyum kecut. "Yang sabar. Ribut banget nih orang." Suaranya cukup keras, hingga mengundang perhatian orang sekitar.

"Kakak ...." Zulfa tidak terima dan mencari pembelaan lewat sosokku yang ada di sebelah kanannya.

"Maaf, Mas. Maafin adek saya."

Sebelum menjawab, lelaki itu menarik salah satu sudut bibirnya. "Kalau punya saudara kaya begini, dijaga biar gak semaunya."

Wajah Zulfa sudah memerah dengan tangan terkepal sempurna.

"Mas, saya kan udah minta maaf, kok malah begini, sih," aku turut tak terima.

"Ah, sudah. Kita pergi aja, Beb." Si lelaki lekas pergi meninggalkan tempat.

"Itu minuman masnya tadi, biar buat adek saya ini. Saya beli,” ucapku pada penjual yang masih terdiam karena pertengkaran yang sempat tercipta di depannya. sementara mataku tak bisa lepas untuk melihat punggung lelaki tadi. Aku hanya bisa geleng-geleng dengan kelakuan orang seperti itu. Ini bukanlah peristiwa pertama yang aku dan Zulfa alami.

***

Setelan rapi sudah kupakai, lengkap dengan riasan berupa bedak tipis dan lipstik berwarna nude yang sesuai dengan warna kulit.

Wajahku pada dasarnya memang tak secantik wanita di luaran sana. Jangankan ingin punya kulit putih mulus tanpa cela, membeli cream untuk wajah saja aku hanya membeli yang murahan. Setidaknya aku cukup bersyukur diberi anugerah kulit yang cenderung sehat; jarang berjerawat dan terbebas dari flek hitam.

Aku keluar dari kamar sembari mengikat rambut ikalnya agar terlihat lebih rapi.

"Ma, aku berangkat ngajar les, ya."

Selesai menyalimi tangan Ibu dan hendak berangkat, langkahku tertahan saat melihat undangan berwarna merah dengan hiasan gambar bunga lavender di bagian pinggirnya.

"Laila nikah?" tanyaku tidak percaya. Teman satu SD-ku dan sekaligus anak dari teman Mama itu ternyata sudah ingin melepas masa lajang.

"Iya." Mama beranjak mendekat sambil mengelap tangannya dengan ujung daster. "Tuh, satu lagi temanmu nikah. Terus kamu?"

Aku memutar bola mata. Rasanya ingin sekali pergi berlalu meninggalkan rumah, tapi bukankah itu mustahil. Yang ada disebut anak kurang ajar.

“Ma ...."

"Mama tuh bingung saban ditanya orang tentang kamu. Kamu tuh udah 25. Apa lagi sih? Mau cari yang kaya gimana?"

"Gak ada. Zila emang mau santai aja. Toh, kalau emang gak ada dekat sama siapa-siapa, ya mau maksa siapa buat nikahin Zila. Mama mau Zila nikah sama lelaki sembarangan?"

"Bukan begitu."

"Ma, nanti aku telat. Berangkat dulu. Assalamualaikum."

Dengan embel-embel takut telat, aku segera keluar dan tancap gas. Padahal, itu hanya akal-akalan untuk menghindari pertanyaan seputar nikah--yang tentu tidak ada habisnya.

***

Malam selalu menjadi waktu guna santai dan menenangkan jiwa. Menyeruput teh hangat di teras rumah sembari memandang lalu lalang warga gang melewati depan rumah menjadi rutinitas langgananku dan Ayah. Lelaki dengan usia menginjak lima puluh tahun itu senang mengajakku bicara apa saja. Boleh saja dia orang yang seharian tidak ada di rumah, begitu pula denganku yang sibuk dengan rutinitas ngajar di mana-mana, tapi setidaknya malam selalu menjadi saksi atas jalinan ikatan kami yang terjalin selalu saja semakin erat setiap harinya.

"Muka anak Ayah kenapa ditekuk begitu? Ada masalah?"

"Biasa. Mama tuh."

Ayah tertawa kecil. Ini bukanlah sesuatu yang baru dia dengar. Tak sekali-dua kali juga dia menasihati Mama untuk menyudahi kelakuan dengan bertanya seputar calon suami kepadaku. Dia tahu, aku masih menata hidup, dan pikiranku juga tengah dipenuhi cara mencukupi kehidupan dengan gaji yang tidak seberapa.

"Begitulah mamamu. Dibawa santai saja."

Aku hanya menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Berat memang. Tapi mau bagaimana lagi.

"Ayah ngantuk. Kamu jangan lama lama di luar. Nanti digodain para buaya yang biasa lewat itu." Usai mengatakannya itu Ayah bergegas masuk, menyisakanku yang tertawa mendengar gurauannya.

Jam di dinding rumah memang sudah menunjukkan pukul sepuluh, tapi mataku masih saja tak kunjung menunjukkan gejala akan tertidur dalam waktu cepat. Tanganku kembali menggulirkan pesan dari salah satu teman yang aku terima siang tadi.

[Tahu gak, Ezar bakal tunangan.]

Awalnya aku enggan untuk menanggapi pesan itu. Sampai grup WA para alumni teater juga diributkan dengan hal demikian. Mereka juga berlomba bagai detektif tentang siapa calon tunangan dari lelaki itu. Hingga salah seorang teman dekat Ezar mengirimkan foto seorang wanita dengan rambut pendek, kulit putih, tinggi semampai, tengah berdiri berdampingan dengan Ezar dengan merangkul tangan lelaki itu erat.

Aku menatap semua chat dan foto itu dengan mata yang memanas. Lagi dan lagi hatinku harus merasakan perih. Aku kira, semua perasaan untuk lelaki itu sudah usai, tapi air mata yang keluar kali ini menjadi bukti bahwa ada sesuatu yang belum selesai. Ya, perasaan itu terlalu kuat untuk bisa dienyahkan dalam waktu singkat.

Aku hanya bisa menarik napas dalam dan menyandarkan punggung dengan hati berharap besar bahwa Tuhan akan memudahkan hati ini guna mengikhlaskan kepergian lelaki yang dulu pernah menjadi kekasihku itu. Berat. Iya, aku tahu. Tapi, bagiku bisa saja ini menjadi cara Tuhan untuk mengukuhkan kenyataan bahwa kami tak pantas bersama.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang