Iya, Kamu Ganteng

2.3K 209 5
                                    

Aiden sudah duduk di ruang tamu. Dia menunggu sekitar lima menit baru aku keluar dengan dress casual warna hitam panjang selutut. Rambut sengaja kukuncir seperti kuncir kuda, agar lebih rapi.

"Pinjam dulu anaknya ya, Ma." Matanya mengerjap nakal kepadaku. Ganjen betul. Dan sapaan itu ... dia mulai berusaha sesantai mungkin dengan Mama, begitu pula aku. Tak ada lagi sapaan Tante Mita, tapi berganti Mama. Perubahan itu terjadi setelah dua minggu yang lalu dia datang bersama mamanya. Dan tepat di hari itu juga sebuah cincin pengikat dipasangkan di jariku.

"Cantik," bisiknya saat membukakan pintu mobil.

Aku tak menanggapi. Hanya cepat-cepat masuk mobil.

Kalau perempuan lain, mungkin akan kesemsem dengar kalimat pujian tadi. Tapi bukan denganku. Aku malah jengkel. Dan sampai saat ini setiap melihat Aiden, aku selalu saja ingat perdebatan bersama Mama.

Sebuah hubungan yang dipaksakan selalu memberi kesan yang buruk, kan? Entah, sampai kapan aku akan begini padanga?

"La, apa kamu yakin dengan konsep yang ini?" tanya Aiden memecah kesunyian yang tercipta sebelumnya. Dan juga membuyarkan semua khayalanku.

"Lebih mudah, kan, daripada membuatnya besar-besaran?"

"Padahal, kalau kamu ...."

"Kita sudah bahas ini. Saya hanya mau acara yang sederhana. Yang datang cukup teman dan keluarga dekat. Untuk apa punya acara besar dan mewah, kalau kebanyakan undangan yang datang bukanlah orang yang kita kenal," balasku. "Apakah waktu yang saya pinta terlalu cepat?"

Dia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum melempar senyum padaku. "Kamu gak sabaran sekali ingin jadi istri saya?"

Aku mencebik kesal. "Bukan begitu."

"Sudahlah ... sepertinya kamu memang sudah mulai jatuh cinta sama saya."

"Kamu mau saya berubah pikiran?" Suaraku terdengar mengancam. Dia lekas membalikkan wajah, menatapku tidak percaya.

Aku sengaja meminta waktu persiapan hanya lima bulan karena tidak ingin membuang-buang waktu. Bukankah niat baik lebih baik diselenggarakan secepatnya? Walau akhirnya ini memicu banyak pro-kontra.

Kemarin aku dan Mama membantu salah satu persiapan hajatan di rumah tetangga. Tanganku sibuk memotong bawang dan beberapa bumbu lainnya. Sementara Mama fokus memantau kematangan nasi kuning yang dimasak dengan santan agar lebih gurih.

"Aduh, calon manten sampai ikut bantu segala," ujar salah seorang ibu yang sedang berkumpul di sini. "Aku sudah lihat, calonnya cakep. Pintar ih, Zila cari pasangan."

Kalimatnya memang manis nian memuji. Tapi, pas malamnya, setelah acara selesai dan bersiap untuk pulang, aku dan Mama mendengar mereka berbincang di belakang kami. Sepertinya mereka hanya sedang tidak sadar karena sibuk menyusun piring-piring yang baru dibersihkan.

"Itu lho, anaknya Aminah, kok nikahnya cepat gitu? Aku curiga, jangan-jangan ...."

"Jangan-jangan apa?"

"Hamil duluan."

"Oh iya, ya."

"Ah, dilihat saja manis. Gak tahunya ... ngeri."

Mama hendak berbalik badan, tapi langsung kutahan. Melihat isyaratku dengan menggelengkan kepala, dia hanya bisa diam. Sejak awal sudah kusebutkan, bahwa aku menerima pernikahan ini tapi semua ketentuannya serahkan pada mauku. Dan Mama tidak punya pilihan.

"Sampai juga. Yuk, turun." Aiden melepaskan safety bealt-ku. Lihat, dia suka sekali melakukannya. Memperlakukanku tak ubahnya seperti anak kecil yang manja dan tidak bisa apa-apa.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang