Rujuk?

3.8K 194 12
                                    

Sepulang dari rumah Aiden, pada malamnya Davira menghubungiku, dia meminta bertemu besok siang. Dan memohon agar pertemuan itu cukup kami berdua

"Ada sesuatu yang harus aku sampaikan, dan itu tidak bisa lewat telepon. Kamu bisa, kan?"

Keesokannya kami bertemu di tempat yang dijanjikan, sebuah cafe, di tengah kota, dekat dengan perempatan menuju Gedung Gubernur lama.

"Ada apa, Kak?" tanyaku to the point di sela-sela waktu menunggu pesanan datang.

Wanita itu sama seperti semalam, meminta maaf lagi berulang kali, sembari mengatup kedua tangan di depan wajah.

"Sudahlah ... aku mungkin bisa saja memaafkan kalian. Tapi, untuk melupakannya, perlu waktu yang lama. Apa lagi dengan kelakuan Aiden yang meragukan anak yang ad--"

"Aiden tidak bersalah," tukas Davira, membuatku mengernyitkan dahi, "dia hanya melakukan apa yang kumau. Tes DNA, keputusan untuk cerai secara bulat, itu semua karena permintaanku, Zil. Waktu Mama bilang, mulai curiga dengan kedekatanmu dengan Ezar, aku juga mulai ikut mencari tahu. Dan entah setan dari mana, bisa-bisanya saat kabar kehamilanmu sampai di telingaku, aku malah orang pertama yang meragukannya.

Zil, Kak Aiden itu orang yang tulus. Aku baru dapat kabar dari Fadlan kalau selama ini dia selalu mengawasimu, mencari tahu setiap hal tentang kamu. Dan, apakah kamu tidak bisa melihat itu dari dia?"

Aku mengalihkan pandangan dan mendesah pelan, mengeluarkan segala uap kekesalan dari hati. "Aku tidak peduli dengan apa yang dia lakukan sekarang. Yang aku tahu, dia adalah lelaki yang pengecut karena bisa diam begitu saja saat kamu memberi gagasan tes DNA."

Suaraku meninggi, membuat para pengunjung memandangi kami dengan tatapan selidik. Aku malas untuk peduli dengan mereka. Saat ini, aku hanya ingin meluapkan segala amarah yang kutahan berbulan-bulan di hadapan wanita ini.

"Dia kebingungan saat itu, Zil. Coba kamu pikir, bagaimana jadinya saat tahu kalau ternyata ada mantan pacar istrinya yang nyata-nyata masih menaruh cinta, malah hidup serumah dengannya. Dan, tolong, jangan salahkan Kak Aiden. Dia sudah cukup menderita, Zil. Aku tahu, setiap malamnya dia selalu mendoakanmu dan anak-anak. Tidak ada yang lebih berharga baginya selain kalian. Di sini, aku yang salah. Aku yang menghasut dia sampai meragukan anak ini. Dan pantas sampai Tuhan pun telah memberi hukuman yang setimpal padaku." Wanita itu menangis sesegukan, tangannya memegangi dada, seperti menghalau rasa sakit di sana.

Aku teringat bagaimana wajah Davira saat tahu tengah hamil setelah bertahun-tahun masa penantian. Dan kehilangan sebelum sempat mendekap si kecil, tentu menjadi musibah teramat besar dalam keluarganya.

Beberapa kalimat Davira juga menamparku. Aku semakin bertanya, apakah aku ikut bagian dalam kerusakan ini? Apakah sikap diam yang aku lakukan saat Ezar ada di rumah adalah dosa besar?

Tuhan ....

Kata orang, dalam pernikahan harus ada komitmen untuk saling jujur. Dan pernikahan macam apa yang telah aku jalin dengan Aiden?

Nyatanya, sejak awal aku hanya berkompromi dengan takdir; membentuk kesepakatan untuk menjadi istri, tanpa ada embel-embel memakai hati.

"Tante tidak tahu ada apa di antara kalian. Tapi, apakah kamu bisa jaga jarak dengan Zila? Bagaimanapun dia adalah menantuku," ucap Tante Mita kepada Ezar, tepat pada beberapa hari sebelum kejadian aku mundur dari rumah. Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka di pekarangan belakang.

Astaga, baru kupahami, bahwa rumit sekali perjalanan yang aku lewati. Semua ini membuatku bingung, mana yang benar dan salah, mana yang harus dibela dan dihujat.

Siapa yang salah? Aku? Aiden? Ezar? Atau ... haruskah kusalahkan takdir?

***

Ayah menyuruh Aiden duduk di seberang meja dan aku di sebelahnya. Tak lupa Mama ikut serta di antara kami.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang