Setelah dua hari yang lalu diadakan hantaran sekalian akad nikah di rumah Endah dengan acara yang sederhana, hari ini kedua mempelai itu melaksanakan resepsi di sebuah halaman masjid. Letaknya tak jauh dari tempat tinggal Endah.
Sudah beberapa hari ini para lelaki bergotong royong membangun tenda, panggung ukuran 3x4 meter untuk pelaminan, dan para wanita sibuk menyiapkan makanan, tentu saja ditemani berbagai kisah yang menjadi penyedap pertemuan.
"Eh, Bang, kok, sendirian aja? Anak-anak mana?" tanyaku pada sosok Aiden yang baru saja menampakkan wajahnya.
Bukannya langsung menjawab, dia lebih memilih untuk mengambil alih Vano dulu dari gendonganku.
"Anak Ayah ...," ucapnya seraya menciumi Vano.
Kalau melihat Vano dan Aiden berdekatan seperti ini, wajah mereka bagai pinang dibelah dua. Aku hanya kena tugas menampung, sementara wajahnya dan hampir keseluruhan sikapnya adalah cetakan persis seperti ayahnya.
Sakit hati?
Ah, aku yang hamil, ngidam beberapa bulan sampai kesusahan beraktivitas setiap pagi, belum lagi kaki bengkak, dan punggung terasa berat setiap malam. Eh, ketika lahir, malah mirip ayahnya.
"Kemarin Davira ke rumah dan mengajak mereka ke Banjarbaru."
Dapat kupastikan malam tadi di rumahnya pasti sangat sunyi. Apalah artinya rumah tanpa suara anak-anak?
"Makan dulu sana," suruhku seraya ingin mengambil alih lagi Vano. Tapi, si kecil malah menepis tanganku dan mengeluarkan rengekan kecil.
"Ngan ...."
"Sudah, jangan dipaksa. Saya gak papa, kok, La."
Aiden makan bersama Vano yang ada di pangkuannya.
Setelah makan, tiba-tiba salah seorang tantenya Endah menghampiri. Dia menyuruhku untuk ikut mengantar Aiden menyalimi mempelai.
"Dia bisa sendiri," balasku.
"Tega kamu, La, nyuruh saya sendirian ke sana. Ayo, temani." Dengan tangan kanan menggendong Vano, sedang tangan kirinya seenaknya sekali menarik tanganku.
Fotografer mengarahkan kamera, siap membidik foto kami bersama mempelai. Selama menemani Aiden, dapat kulihat tatapan para undangan--yang kebanyakan masih para warga di kelurahan ini. Mungkin kejadian ini akan menjadi topik cerita hangat bagi mereka saat pulang nanti.
Dasar, ibu-ibu kurang kerjaan!
"Bang, batuknya masih belum sembuh juga?" tanyaku. Dia dari tadi beberapa kali batuk, saking kuatnya sampai menyerahkan Vano lagi padaku.
"Padahal sudah makan obat."
"Pasti minum es terus nih."
"Hahaha! Kamu kira saya anak-anak, La."
Usai mengatakan itu dia mengusap pucuk kepalaku. Aku sejenak terdiam, ada sesuatu yang berdesir di dalam dadaku yang aku kira rasa itu telah lama mati.
Tidak. Tidak. Kenapa aku berpikir yang tidak-tidak? Bukankah sejak awal kami berikrar sebagai kawan?
Ya, walau aku tak yakin sepenuhnya dengan predikat itu, karena setiap ada sesuatu, Aiden adalah orang pertama yang kuberi tahu.
Aku teringat kejadian saat Vano berusia tiga bulan, aku harus ikut tes SKB. Aiden memberi ide agar Vano lebih sering dititip di rumahnya agar aku bisa punya waktu lebih untuk belajar.
Tepat di hari tes, Aiden mengantarku sampai ke depan gerbang SMK.
"Semoga sukses," doa ia panjatkan, sebelum aku benar-benar keluar dari mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA Nazila Ersha hanya perempuan biasa dari keluarga sederhana pula. Tidak ada yang menarik, selain kisah percintaannya dengan Ezar Wijaya. Mereka berdua mulai berniat untuk membawa hubungan ke tahap yang lebih serius. Namun sa...