27. Pengakuan yang sesungguhnya

106 24 4
                                    


.

.

.

"Aku mau kamu pergi!"- Jeno berbalik, "Puas?"-

Aku menelan salivaku dengan susah payah. Jeno masih melayangkan tatapan tak bersahabatnya padaku. Rasanya sesak sekali. Aku mengepal tanganku kuat-kuat.

"Oke, fine, aku pergi. Kalau memang cuma itu satu-satunya cara buat kamu nggak marah lagi ke aku. Aku bakal pergi. Besok aku bakal ajuin surat pengunduran diri ke perusahaan."-

Aku menyeka air mataku kasar. Lalu melenggang pergi keluar dari kamar Jeno. aku buru-buru menuruni anak tangga dan berpapasan dengan Renjun dan Jaemin yang membawa minum dan toples kue ditangan mereka.

"Lhoh, Ra? Mau kemana?"- tanya Jaemin.

"Pulang,"- sahutku tanpa berhenti menuruni tangga.

Jaemin dan Renjun saling tatap sebelum akhirnya mengejarku.

"Hei..hei.."- Jaemin berhasil menangkap tanganku, "Kenapa buru-buru—lhoh, kamu kenapa? Kok nangis?"-

Karena ditanya begitu, air mataku jadi reflek berjatuhan lagi.

"Aku mau pulang,"- ucapku dengan parau.

Jaemin dan Renjun terlihat saling menatap satu sama lain.

"Oke, tapi kenapa? Kenapa kamu nangis?"- tanya Jaemin.

"aku mau pulang!"- ulangku, terisak.

Jaemin memberikan botol minuman ditangannya pada Renjun.

"Oke, kita pulang, ayo!"- ajak Jaemin.

Aku menggeleng, "Aku bisa pulang sendiri. Nggak usah dianter,"- aku menghapus jejak air yang masih saja turun dari mataku.

"Nggak boleh! Ayo, aku anter!"- paksa Jaemin. Ia merangkulku untuk pergi dari sana. Jaemin membukakan pintu mobil dan menyuruhku masuk. Tidak lama kemudian, dia juga ikut masuk dan duduk dibangku kemudi.

Air mataku rupanya belum berhenti. Aku berkali-kali mengusap kasar bawah mataku. Belum ada tanda-tanda Jaemin untuk menghidupkan mesin mobil. Ia diam menatapku dengan satu tangannya bertompang pada stir, dan satunya berada di sandaran jokku.

"Kamu abis berantem sama Jeno ya?"- tebak Jaemin.

Mendengar nama Jeno disebut, aku langsung nangis lagi. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku nangis sesegukan disana. Jaemin tidak lagi bersuara. Tapi kurasakan tangannya menepuk-nepuk punggungku.

"Jeno marah ke aku hiks—tapi aku gatau aku salah apa. Dia udah beberapa hari menghindar. Dia nggak angkat telfonku, nggak ngeread pesanku hiks—aku nanya apa salahku dia nggak jawab! Hiks—dan tadi dia bilang dia pengen aku pergi hiks—aku nggak tau kenapa hiks—"

Aku bergumam panjang lebar pada Jaemin sambil terus menangis. Jaemin dengan lembut mengelus punggungku saat aku sampai terbatuk-batuk karena menangis. Dia juga memberikan beberapa helai tissue padaku untuk mengelap ingus dan air mataku.

Rasa sakitku masih belum juga hilang. Tiba-tiba, pintu mobil dibuka dari luar oleh seseorang dan aku ditarik keluar begitu saja.

Ternyata itu Jeno. Dia langsung memelukku ketika berhasil mengeluarkanku dari sana. Aku memberontak sekuat yang aku bisa, dan Jeno juga menahanku untuk tidak melepaskan aku dari pelukannya.

"Yoora maaf, maafin aku! Sumpah, aku tadi nggak bermaksud bilang gitu!"- oceh Jeno padaku.

Aku terus berkelit dari pelukannya.

Forbidden Rencard | Jeno LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang