28. Hina

120 25 4
                                    


.

.

.

Seperti biasa, pagi ini aku tetap ke perusahaan untuk absen. Buat apa? Ya biar gajiku tidak dipotonglah! Apalagi?

Setelah selesai, aku langsung pulang karena memang aku kesana ya Cuma untuk absen doang. Jeno masih cuti, jadi aku juga bisa dikatakan free, tapi nggak sepenuhnya free juga sih. Aku memeriksa ponselku. Ah, ternyata ada pesan masuk dari Jeno. Aku langsung menelponnya alih-alih membalas pesan-pesan yang dikirim Jeno.

"Hai,"- sapaku saat dia menjawab panggilanku.

"Kamu dimana?"- tanyanya dari balik sana, "Kenapa pesan aku ngga dibalas?"- tanyanya lagi. "Mau balas dendam ya?"-

Aku tertawa kecil mendengar pertanyaan bertubi-tubi Jeno. Benar juga, dia pagi ini mengirimiku banyak pesan dan belum kubalas. Bukan aku mau balas dendam tentang hari itu, tapi aku nggak balas karena aku kesiangan bangun dan buru-buru berangkat ke perusahaan. Jadi, pesan Jeno nggak ku balas deh.

"Aku baru aja keluar dari pintu masuk SM nih,"- jawabku. Aku membungkuk pendek kepada satpam didepan sambil tersenyum tipis sembari keluar dari gedung SM. Aku berjalan kaki menuju halte yang berada tidak jauh dari gedung SM.

"Udah sarapan?"- tanya Jeno.

"Belum,"- jawabku menggeleng. Aku tau Jeno tidak akan bisa melihat gelenganku, tapi tetap saja aku melakukannya. Lebih ke reflek sih.

"Kok belum? Ini udah hampir jam 10 lhoh, Ra. Bentar lagi udah waktunya makan siang, tau."-

"Yaudah sih, nanti sekalian aja makannya digabungin."-

"Dasar!"- Jeno berdecih, "Nanti kalau sakit baru tau rasa!"-

"Oh jadi kamu ngedoain aku sakit?"-

"Heh, mana ada orang yang ngedoain pacarnya sendiri sakit."-

"Pacar?"- ulangku—kaget. Maksud Jeno apa? Siapa yang dia sebut pacar? Aku?

"Iya. Kamu kan pacar aku!"-

Aku diam sejenak sambil berpikir. Memang benar aku dan Jeno udah saling nyatain perasaan satu sama lain, tapi seingatku Jeno nggak ada ngajak aku pacaran deh. Apa... ketika kita udah saling suka, itu artinya kita pacaran?


Apa konsep pacaran begitu?


"Na Yoora?"-

"Ha? Iya? Kenapa?"-

"Kenapa apanya? Aku daritadi ngomong nggak kamu tanggepin lhoh."-

"Ah, Sorry,"- kataku berhenti di halte bus. "Aku lagi dijalan, jadi agak ribut. Aku mau pulang dulu, nanti lagi ngomongnya bisa kan?"-

"Kamu mau pulang?"-

"Iya. Bye, aku tutup ya."-

"Jangannnnn!!!!"- Jeno berseru panjang, "Jangan ditutup dulu.."-

"Kenapa lagi?"-

"Kerumahku sini,"- suruhnya.

"Kenapa aku harus ke rumah kamu?"-

"Udah jangan banyak tanya, kesini pokoknya. Kamu masih ingetkan jalan kerumahku? Atau mau aku jemput aja?"-

"Jemput apaan, kamu kan sakit Lee Jeno! Nggak usah ngadi-ngadi,"- tukasku. Yang benar saja, dia masih sakit malah mau nyetir.

"Yaudah makanya kesini, ya? Kamu mau kan? Pleaseeeee..."- rayu Jeno dengan nada suara dibuat-buat.

"Emmm...."- aku berseru sambil berpikir. Memang kalau langsung pulang, aku juga nggak tau mau ngapain. Mau ngajak Saeron, dianya lagi liburan ke Busan. Oke, ke rumah Jeno bukan ide yang buruk.

Forbidden Rencard | Jeno LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang