🪄 CHAPTER 6: Bandung dan Bandung 🪄

117 52 40
                                    

Salah satu bus sudah melaju membawa banyak orang, salah satunya ialah Aesthetic.

"Maaf, Ibu bisa duduk di tempat saya. Biar saya saja yang berdiri." Inisiatif Aesthetic. Tak tega ia melihat wanita lanjut usia yang baru memasuki bus, akan berdiri dan bertumpu dengan pegangan atas bus.

"Memangnya enggak apa-apa, Nak?" Tanya wanita lanjut usia tersebut. Aesthetic tersenyum melihatnya, wanita lanjut usia tersebut terpancar kecantikannya. Pasti saat masih muda sebelas - dua belas seperti Ameera, yaitu menjadi seorang primadona sekolah.

"Enggak apa-apa kok. Ibu duduk di sini saja, enggak usah khawatir sama saya. Saya dikit lagi mau sampai ke tempat tujuan." Jawab Aesthetic dengan senyuman. Dirinya meyakinkan wanita tersebut, padahal masih lumayan lama untuk ke rumahnya.

Sebenarnya Aesthetic bingung mau memanggil apa. Mau dipanggilnya dengan sebutan Nenek, tapi ia merasa kurang pantas dan kurang sopan. Ia takut wanita lanjut usia tersebut merasa kurang nyaman dengan sikapnya nanti. Lagipula jika Aesthetic telusuri wanita yang berada di samping kanannya, usianya lebih muda Neneknya.

"Terima kasih, ya. Kamu baik sekali, peduli sama sekitar. Jarang anak muda seperti kamu. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu." Ujar wanita lanjut usia itu dengan senyuman, membuat matanya membentuk bulan sabit. Aesthetic membalas dengan senyuman jua, serta meng-Aamiin-kan doa yang terselip.

Aesthetic memegang pegangan atas bus dengan erat. Ia mengingat kejadian dulu, saat pertama kalinya ia naik bus dan harus berdiri, karena semua bangku penuh. Disaat itulah, ia belum terbiasa berdiri di bus dan sempat oleng tubuhnya. Untuk sekarang, Aesthetic sudah terbiasa.

Pepatah itu benar adanya. Pengalaman dan kegagalan memang guru terbaik.

Suasana bus yang dinaiki Aesthetic tidak terlalu ramai, namun memang semua bangku sudah terisi penuh. Beberapa orang yang berdiri pun bisa dihitung dengan jari. Di barisan pegangan atas bus, tidak terlalu dempet orang-orangnya. Jadi Aesthetic tak khawatir, akan adanya hal-hal yang tidak diinginkan oleh kaum hawa. Lagipula Aesthetic termasuk orang yang menyiapkan semuanya. Di dalam sling bag miliknya terdapat botol kecil berisi air campuran cabai. Sewaktu-waktu ada hal yang tidak baik, ia punya tameng.

"Kamu mau kemana, Nak?"

Aesthetic yang sedang mengamati pemandangan malam, menoleh ke arah suara tersebut. "Mau pulang ke rumah, Bu. Kalau Ibu?" Balas Aesthetic yang mulai mengakrabkan diri.

Wanita lanjut usia tersebut tersenyum sedikit masam. "Ke rumah ke-dua saya. Panti jompo, Nak."

Aesthetic tertegun. Dirinya tidak menyangka akan jawaban tadi. "Ibu pergi sendirian?"

Bisa Aesthetic lihat, wanita tersebut menggeleng. "Ada teman, tapi tadi naik bus yang berangkat duluan. Busnya sudah penuh, jadi Ibu nunggu bus selanjutnya. Beruntung Ibu ketemu anak muda selucu dan sepengertian kamu."

Hati Aesthetic menghangat. Matanya sudah berkaca-kaca terharu.

"Enggak seperti anak Ibu." Lanjut si wanita lanjut usia dengan lirih, namun Aesthetic masih mendengarnya.

Aesthetic mengelus bahu wanita tersebut lembut. "Saya bangga dengan Ibu. Ibu merupakan wanita yang kuat."

"Terkadang saya bosan di panti jompo. Makanya hari ini, saya dan teman saya memutuskan untuk jalan-jalan biasa. Saya kepikiran dengan anak saya jika terus-menerus di panti."

"Alasan mengapa dia menaruh saya ke panti tanpa kata. Hati saya sakit. Saya melihat kamu seperti melihat anak saya yang bungsu. Mungkin sekarang dia seumuran kamu."

Hati Aesthetic mencelos. Sakit dan sesak itulah yang Aesthetic rasakan. Ia tak menyangka dengan yang menimpa wanita lanjut usia tersebut. Rasanya engap, ia memang sensitif dengan topik keluarga, terkhusus tentang seorang Ibu. Aesthetic tak habis pikir, kenapa anak tersebut tega meninggalkan sang Ibu di depan panti jompo.

MiStic (Mickey and Aesthetic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang