🪄 CHAPTER 22: Semua Punya Cerita 🪄

61 15 2
                                    

Bandung menoleh, ketika Rahmi meminum air mineral yang ia berikan tadi, "ayo kita buat kesepakatan. Lo dan gue berpacaran dengan syarat yang berlaku." Di saat itu juga, Rahmi ingin merutuki Bandung yang membuat ia tersedak.

"Apa maksud lo?!"

Bandung diam. Dirinya sangat tahu, perempuan yang bersamanya kini pasti terkejut. "Lo pasti mabuk, kan?" Rahmi sudah memicingkan matanya. Masih diam. Bandung justru melihat Rahmi yang sudah berdiri, dan memegang kendali sepedanya. "Lo mabuk. Ayo pulang sekarang, gue boncengin lo."

"Lo kira, gue ini termasuk yang nakal begitu?" Dengan aura yang tenang, Bandung berucap demikian. "Bisa saja, kan? Karena gue nggak tau sifat lo yang sebenarnya."

"Gue lebih suka air putih daripada minuman yang lo pikirkan." Kalau dari segi penampilan, Bandung memang terlihat seperti laki-laki yang baik, humoris, dengan pembawaannya tetap tenang. Dan dilihat dari segi tampilan tersebut, Bandung termasuk tipikal orang yang bertindak pasti ada alasannya. Alasan-alasan yang menguatkan dirinya sampai bisa mengambil tindakan seperti tadi. Bukan hanya satu alasan. Bingung dengan yang dialaminya, Rahmi pun terbawa arus pikirannya sendiri.

"Lo bertanya mendalam, pertanda bahwa lo setuju."

"Gue bertanya mendalam?"

"Ucapan lo tadi, Karena gue nggak tau sifat lo yang sebenarnya, adanya siratan bahwa lo mau tau sifat gue yang sebenarnya. Untuk mewujudkan itu, lo harus lebih dekat dengan orang tersebut. Karena seseorang akan menunjukkan sifat yang sebenarnya, ketika sudah lebih dekat satu sama lain."

Rahmi tertawa heran, dengan mata masih menatap laki-laki yang lebih muda darinya, "lo itu orang teraneh yang pernah gue temui."

"Setelah Geraldi, sih." lanjut Rahmi, dengan suara lirih. "Geraldi siapa?" Rahmi tidak percaya, padahal dirinya berucap sudah sangat lirih. Ternyata tajam juga indera pendengarannya siluman kanebo kering.

"Cowok lo?" Rahmi menajamkan pandangannya, ketika Bandung mengira-ngira tentang Geraldi. "Oh, bukan. Biasa saja matanya." Rahmi menghela napas, "gue mau pulang. Jadi, lo buruan sini gue boncengin. Mabuk lo sudah semakin parah." Tolonglah, Rahmi mau mengistirahatkan tubuhnya.

"Gue nggak mabuk. Gue sadar dengan hal yang gue ucapkan tadi." Kini suara Bandung terdengar lebih tegas dan ada penekanan di dalamnya. Rahmi memejamkan matanya sebentar, "lo sama gue hanya sebatas orang asing. Lagipula, lo itu lebih muda dari gue, Bandung." Ada jeda, sebelum Rahmi melanjutkan, "Gue anggap yang tadi itu lo hanya sebatas penasaran, karena usia lo."

Bertepatan dengan berakhirnya ucapan Rahmi, bus yang menuju ke arah rumahnya sudah datang. Remaja perempuan itu meletakkan sepeda yang tadi ada di dalam kendalinya, dengan hati-hati. Rahmi tahu, pemilik sepeda tersebut masih setia berdiam diri. Bandung masih setia berdiam diri.

"Rahmi."

Sepasang kaki yang sudah mulai memasuki bus, mulai terhenti. Tanpa berbalik arah, Rahmi membalas panggilan dari Bandung. "Kenapa? Lo mau tanya, apa hal tersebut wajar pada usia lo?" Tangan Rahmi mengepal erat, "itu wajar. Sangat wajar."

"Rahmi."

"Apa la—"

"Gue paham sekarang. Ternyata benar, hal tersebut memang sebuah kesalahan." Rahmi sudah membalikan tubuhnya, membuat kedua pasang mata itu saling bertubrukan dan saling menyelami satu sama lain, karena sorot mata tidak bisa berbohong. Dan ya, ada luka di dalam sorot mata keduanya.

~ 🪄 ~ 🪄 ~ 🪄 ~

"Ada luka dari sorot mata lo tadi." Bandung menoleh, mendapati Rahmi yang berjalan sembari menunduk. "Lo juga. Ada luka dari sorot mata lo." Rahmi tersenyum hambar. "Kenapa tiba-tiba?"

MiStic (Mickey and Aesthetic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang