🪄CHAPTER 27: Cukup🪄

43 9 0
                                    

✨Selamat membaca✨


~ 🪄 ~ 🪄 ~ 🪄 ~

"Punya omongan dijaga dong! Siapa juga yang suka sama pemilik asrama putri?!"

"Oh, kurang jelas yang gue sebut tadi?" Dengan gaya santai dan tengil, Geraldi membalas ucapan yang ditekan oleh Rahma. Ia begitu telaten menyuapkan beberapa potong tteok yang tersisa di piring ke dalam mulutnya sendiri.

"Kepedean!" Rahma yang tidak terima pun membentuk delapan huruf untuk menyerbu Geraldi. Namun, dibalas oleh anggukan santai dari pemuda tersebut.

"Jangan lupa kabarin adik lo."

Rahma bingung, "kabarin tentang apa?"

"Bokap lo."

Rahma mengernyitkan dahi, lalu menopang dagu dengan kedua tangannya. "Kenapa harus dikabarin tentang hal itu? Lo tau sesuatu tentang Papah gue?"

Geraldi terbungkam. Ia merasakan keheningan yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Ini didukung oleh beberapa plasma yang tidak lagi menayangkan music video. Mungkin sedang menunggu antrian dari pemilihan yang sangat membingungkan, 'dimulai dari music video apa?'. Satu hal yang pasti, ini membuat aura intimidasi dari Rahma menguat. Bahkan perempuan itu sudah memicingkan kedua matanya guna mengiris nyalinya.

"Ya, kayak yang lo bilang sebelum-sebelumnya. Kalau, nih, kalau menurut lo penting, kabarin adik lo. Selesai. Nggak ada hubungannya gue tau tentang bokap lo gitu. Nggak ada. Apaan coba hubungannya ke sana?" Tiap kata yang diucapkan oleh Geraldi, tiap itu pula Rahma menyimak karena belum sepenuhnya percaya. Namun, terlepas dari itu semua, Rahma setuju bahwa ia harus mengabari saudari kembarnya mengenai sang papah yang tiba-tiba mengunjungi rumah mereka.

"Gue telepon dulu." Geraldi mengiyakan suratan izin dari Rahma.

Merasa sudah tepat dengan jarak yang diambilnya, Rahma menekan tombol berbentuk telepon hingga menghasilkan suara dering. Ia tahu dan paham kebiasaan adiknya, yaitu ikut menyanyikan lagu yang telah dijadikan nada dering panggilan. Tentu benar, sampai akhirnya Rahma harus menekan panggilan yang kedua kali dan baru diangkat oleh pemilik di seberang sana.

"Kebiasaan lo benar-benar, ya!" Semprot Rahma pada Rahmi sebagai salam pembuka dalam panggilan mereka.

"Benar-benar apa?" Dibalas oleh sebuah pertanyaan dari suara di dalam ponsel.

"Benar-benar bikin jengkel!" Rahma menjawab dengan ketus, tapi ia tidak sungguh-sungguh marah.

Memakan waktu kurang lebih 15 menit, panggilan tersebut berakhir. Rahma merasa tenang karena tidak telat atau bahkan lupa memberitahu Rahmi dalam konteks penting. Rata-rata bagi seorang anak, berkumpul atau dikunjungi oleh orang tua merupakan sesuatu yang indah. Bagi Rahma dan Rahmi pun iya. Tidak dapat dipungkiri ada perasaan senang, tapi mereka tidak bisa sebegitu mudah untuk percaya dan terbuai akan kesenangan itu. Setelah kejadian-kejadian pahit yang dirasakan oleh mereka sedari kecil, tidak dianggap, hingga diusir paksa oleh figur hero yang mereka panggil dengan sebutan papah. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa mereka telah tumbuh dari sikap dan perilaku yang ditanam oleh sang papah.

Mau bagaimana?

Rahma dan Rahmi juga saling mengobati untuk berdamai dengan keadaan dan masa lalu. Namun, mereka selalu merasa ini belum tepat waktunya. Selalu, selalu, dan selalu begitu. Apakah mereka tidak bisa pulih total maupun berdamai dengan goresan luka-luka tersebut?

Sebelum Rahma merasa dirinya akan hanyut dalam ombak pikiran yang entah di mana ujungnya, ia mengubah haluannya untuk berterima kasih pada pemuda yang masih menunggunya di lantai dua. Benar, ia memang pergi ke lantai satu untuk memenuhi tujuannya, yaitu menelepon sang adik. Belum sempat Rahma menaiki anak tangga yang meliuk, ada sebias suara yang mencuri atensinya.

MiStic (Mickey and Aesthetic)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang