Chapter #4 - Rasa bersalah

13 7 0
                                    

Ini adalah waktu yg paling dinantikan para siswa. waktu jeda sekitar 30 menitan yg diberikan agar para siswa bisa mengisi perut, untuk menghadapi pelajaran selanjutnya.

Banyak yg bilang kalau manusia yg sedang dalam kondisi lapar, mereka akan menunjukan sisi buasnya. Gue sama sekali gak percaya akan hal itu, pada awalnya.

Namun, kini pemikiran itu berubah setelah gue menyaksikannya sendiri dengan kedua mata gue. Puluhan, atau bahkan ratusan manusia lapar yg berdesakan saling beradu kekuatan, berebut makanan di salah satu kedai di kantin sekolah.

Buat seorang pecundang seperti gue, masuk dalam kerumunan tersebut adalah sebuah kebodohan.

Ibarat seekor semut yg masuk dalam pertarungan para macan yg sedang berebut daging. Tentu saja sang semut hanya akan terinjak dan mati sia-sia dalam hitungan detik.

Lagi pula, kenapa semut ikut bertarung berebut daging?

Memangnya semut makan daging?.

Gue menghela nafas, memikirkan betapa  bodohnya si semut itu.

Kemudian, gue pun melihat-lihat kedai lain yg tidak begitu ramai. Lalu, mata gue terhenti pada banner salah satu kedai yg bertuliskan 'Mie Ayam + Pangsit hanya 10 ribu'.

Mie ayam adalah makanan yg gak akan bisa gue tolak, apalagi dengan tambahan pangsit. Maka, gue menjatuhkan pilihan gue untuk makan di kedai itu.

Tetapi, saat gue hendak menuju kedai mie ayam itu. Langkah gue terhenti oleh seorang siswi yg jatuh terduduk, akibat berbenturan dengan punggung gue.

Gue mengenali siswi itu dari kacamata melorotnya, serta rambut poni yg menjadi ciri khasnya. Dia adalah Triana, temen semeja gue di kelas.

Gue kembali refleks menggenggam saku kanan gue. Sambil bertanya dalam hati, kenapa harus berurusan dengan gadis ini terus sih?.

Meski enggan, gue coba untuk membantunya berdiri.

"Makasih ya don." Ucapnya, dibarengi senyum kecilnya.

Gadis itu membersihkan sisa-sisa debu yg menempel di rok abu-abunya sembari menatap penuh makna, ke arah kerumunan yg membuatnya terpental tadi.

Insting gue seakan menyuruh untuk bergegas pergi, sebelum adegan ini berlanjut ke arah yg tidak gue inginkan.

Gue hendak membalikan badan, dan...

"Oh iya, kamu mau makan di kantin juga don?" Tanya Triana.

Sepertinya gak cukup waktu, buat gue kabur menghindari adegan ini.

"Hhmm..." Jawab gue sambil mengangguk.

"Mau makan apa?" Tanyanya lagi.

Sebenernya gue gak masalah makan apa aja, asal jangan di kedai yg penuh macan lapar ini. Sayangnya, jawaban mulia itu hanya bisa gue katakan dalam hati.

"Kalau lu, mau makan apa?" Gue balik bertanya.

"He?. Mmm... Sebenernya aku mau beli roti isi disini. Gosipnya sih, ini roti isi paling enak di sekolah ini." Jawab triana malu-malu.

"Cuman rame banget, tadi aja aku sampe mental pas coba berebut. Hehehe..." Lanjutnya.

Gue jadi teringat lamunan tentang semut bodoh tadi.

Lagi pula, apa untungnya bertaruh nyawa hanya demi sebuah roti isi yg 'gosipnya' paling enak.

Kayanya yg jual roti isi di kantin ini, cuman kedai itu aja deh. Kok bisa, dia mendapat predikat roti isi paling enak, padahal kan dia gak punya saingan untuk jadi pembanding.

Entahlah, dunia selalu punya misterinya sendiri.

"Lu gak mau beli yg lain?" Gue kembali bertanya.

"Eh iya ya, beli apa ya enaknya?" Jawab Triana dengan balik bertanya, sambil sesekali mencuri pandang ke arah kedai yg penuh kerumunan itu.

Jawaban polosnya itu seakan tak sanggup menutupi hasratnya, membuat gue membenci kepekaan diri gue.

Gue kembali menatap ke arah lautan manusia yg sedang berebut roti isi itu.

Mencoba mensimulasikan Kobayakawa Sena dari anime Eyeshield21, untuk menemukan celah dan mencari jalur terbaik untuk bisa menembus kerumunan itu.

"Tunggu disini" Perintah gue, setelah menemukan celah yg gue cari.

Sang semut menerobos masuk ke dalam kerumunan. Tentu saja, macan-macan lapar itu tidak memberikan kemudahan kepadanya.

Alhasil, beberapa sikut berhasil bersarang di perut dan wajahnya. Meski begitu, sang semut tidak menyerah.

Walaupun harus menerima serangan yg tidak semutiawi (sebagai pengganti kata manusiawi dalam kehidupan semut) si semut bodoh itu tidak patah semangat dan terus bergerak maju.

Perlahan namun pasti, si semut berhasil mencapai barisan paling depan berkat kekuatannya memprediksi jalur dan melihat celah di antara kerumunan ini.

Akan tetapi, sebuah daging memang terlalu besar untuk dibawa oleh seekor semut sendirian.

Kini, di depan gue. Terpampang besar tulisan 10 ribu untuk setiap porsi roti isi, membuat gue syok.

"Gile, roti beginian harga 10 ribu." Maki gue dalam hati.

Bukan berarti duit gue gak cukup. Hanya saja, gue cuman sanggup membeli satu porsi, karena duit di kantong gue hanya ada selembar 10 ribuan.

Gue gak menyangka, kalau harganya akan semahal ini. Biasanya kalo gue beli roti di mamang warung deket rumah gue, harganya paling cuman 2 ribu.

Kenapa disini harganya bisa 5x lipat?. Meskipun kalau dilihat roti isi ini cukup besar dengan daging dan telur sebagai isiannya. Namun tetap saja, ini hanya sekedar roti.

Karena dengan uang 10 ribu, gue bisa mendapatkan satu porsi mie ayam + pangsit basah di kedai yg menjadi target utama gue tadi.

Lalu, bagaimana dengan si poni kalau gue hanya membawa satu bungkus roti isi ini?.

Aarrggghhh... Sial!!!, ini bukan saatnya buat gue kebanyakan mikir. Gue harus segera mengambil keputusan dengan cepat, dan keluar dari kerumunan ini.

Akhirnya gue keluar dari kerumunan itu. Penampilan gue sudah acak-acakan entah seperti apa, akibat dari kenekatan gue menerobos kerumunan macan yg kelaparan.

Dan gue bersumpah pada diri gue sendiri, untuk tidak pernah masuk di kerumunan itu lagi.

Triana menghampiri gue dengan wajah yg nampak khawatir.

"Kamu ga apa-apa don? penampilan kamu sampe berantakan gitu." Kata Triana.

Gue menyodorkan bungkusan roti isi yg gue dapatkan susah payah itu kepadanya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Triana tampak kebingungan menerima roti itu, kemudian bertanya, "ini buat aku? terus roti buat kamu ma..." Ucapannya terhenti ketika gue menyentuh pucak kepalanya.

"Nikmati saja makanannya." Ujar gue sambil melangkah pergi.

Pergi meninggalkan kantin beserta kerumunan dan pergulatannya.

Pergi meninggalkan si poni yg terpaku membisu sembari memeluk roti isinya.

Pergi meninggalkan kisah yg akan diwariskan ke anak cucu para semut, bahwa ada semut legendaris yg berhasil berebut daging dari kumpulan macan kelaparan.

Ini adalah keputusan terbaik gue. Jadi, gue meninggalkan itu semua dengan rasa bangga, serta dibarengi tetesan air mata.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Buat yg sudah mampir, semoga terhibur dengan ceritanya.

Dibantu vote, share dan komennya juga ya.

Terima kasih :)

My Highschool Story : First Step  (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang