Di sebuah lapangan yg memiliki dua ring yg menggantung pada sebuah papan di sisi lapangan yg saling berhadapan, terdapat sepuluh orang yg sedang mengadu strategi untuk memperebutkan sebuah bola berwarna oranye, dengan menggunakan tangan mereka.
Tim basket putri sedang bertanding dalam laga persahabatan yg diadakan di sekolah gue. Setelah berpindah posisi menjadi shooting guard (SG) peran Triana dalam tim menjadi lebih baik.
Kini, tugasnya sudah tidak lagi membawa bola atau berhadapan satu lawan satu yg menjadi kelemahannya. Dia hanya perlu mencari tempat nyaman untuk melakukan shoot dan menunggu bola datang padanya.
Memiliki shooter yg handal adalah sebuah keuntungan besar bagi tim. Karena, apabila mereka kesulitan untuk menerobos masuk barisan pertahanan, sang shooter akan menjadi salah satu alternatif serangan dengan lemparan tiga angkanya.
Itulah yg sedang dilakukan tim sekolah gue sekarang. Ketika mereka kesulitan menerobos masuk, Triana menjalankan tugasnya dengan lemparan tiga angka.
Dan ketika Triana di kepung, sudah bisa dipastikan mereka akan menerobos pertahanan dengan mudah.
Gue sedang duduk bersandar ke pohon sambil menyaksikan mereka dari tempat favorit gue yg biasa gue jadikan sebagai tempat eskul SUJ.
Kali ini, gue tidak menyaksikannya sendirian. Disebelah gue ada Putra dan Yuki yg tengah bersorak untuk menyemangati Triana. Mereka sangat heboh, ketika Triana barhasil memasukkan bola melalui lemparannya.
Ide untuk menonton pertandingan ini dicetuskan oleh Yuki, ketika Triana mengatakan sepulang sekolah, akan ada pertandingan persahabatan untuk tim basketnya, saat kami sedang menyantap makan siang di kantin tadi.
"Gila don, Triana main basketnya hebat banget. Lemparannya juga, hampir semuanya menghasilkan poin." Ucap Putra.
"Gue gak nyangka, kalau Triana suka kegiatan fisik kaya gini. Udah gitu mainnya bagus banget, sangat berbeda dari Triana yg biasanya." Kata Yuki.
Tentu saja mereka seheboh itu melihat Triana bermain basket, karena dia benar-benar seperti orang yg berbeda saat di lapangan. Orang yg menontonnya, pasti akan tersihir oleh aksinya yg sangat memukau itu.
Kalau saja mereka melihat pertandingan pertamanya, mungkin mereka akan lebih setuju bahwa itu Triana yg asli. Karena cara permainannya yg dulu, lebih cocok dengan karakternya yg ceroboh.
Pertandingan kini memasuki quarter ke 3 dan gue mulai merasakan ada sesuatu yg aneh dari permainan Triana. Beberapa kali tembakan mudah tanpa penjagaan yg seharusnya menjadi kesempatan terbaiknya untuk mencetak angka, gagal dieksekusinya dengan baik.
Teman-teman timnya tampak memberikan semangat dengan menepuk pundaknya dan mengatakan sesuatu pada Triana. Namun, sepertinya itu tidak berpengaruh padanya dan tembakan terakhirnya malah tidak sampai ke sasaran.
"Jelas ini ada yg aneh." Ucap gue dalam hati.
Di tengah quarter ke 3, Triana di tarik ke luar lapangan. Yuki memanggil Triana dan melambai kepadanya. Triana pun menghampiri kami setelah minta ijin pada pelatihnya.
"Good job na, permainan lu bagus banget tadi." Ujar Putra sembari mengangkat tangannya dan di sambut 'high five' oleh Triana.
"Sayang banget lu harus diganti, padahal gue lagi seru nonton lu main." Kata Yuki sambil memberinya minuman.
"Mungkin karena stamina aku masih kurang bagus. Jadinya, performa ku menurun dan harus di ganti tadi." Jelasnya diakhiri senyum yg terkesan seperti dipaksakan.
Sepertinya dia berbohong. Nafasnya saja masih stabil, padahal dia baru saja di tarik keluar lapangan. Jadi, sudah jelas bukan stamina yg menjadi kendalanya.
Dan yg terlihat salah dari tembakannya yg gagal itu adalah, lompatannya yg kurang maksimal. Jangan-jangan...
"Lu cedera ya na?" Tanya gue membuat suasana menjadi sunyi.
"Ah... En... Nggak kok." Jawab Triana terbata-bata.
"Bagian mana yg cedera don?" Tanya Yuki.
"Kakinya." Balas gue.
Yuki segera menyuruh Triana duduk dan melepas sepatunya. Dan...
"Aww..." Jerit Triana ketika sepatunya berhasil di lepas paksa oleh Yuki.
Ternyata benar dugaan gue. Kaki kanannya lecet di bagian atas tumitnya. Sepertinya si pelatih juga menyadari cedera kaki Triana, sehingga dia menarik keluar pemain pentingnya itu.
Meski tergolong luka ringan, tapi luka ini cukup mengganggunya untuk melompat dan membuatnya kehilangan fokus saat menembak, karena menahan rasa perih dari kakinya.
Melihat hal itu Yuki langsung berlari ke arah gerbang sekolah. Dan setelah beberapa menit, dia kembali dengan plester luka dan menempelkannya untuk menutup luka di kaki Triana.
"Terima..."
"Lu kenapa maksain main, padahal kaki lu luka begitu." Bentak Yuki memotong omongan Triana.
"Maaf ya ki, bikin kamu khawatir. Abisnya, aku lagi semangat banget tadi. Apalagi, pas denger teriakan kalian mendukung aku tadi." Ucap Triana dibarengi senyumannya yg biasa.
"Kalau luka di kaki lu semakin parah dan akhirnya lu jadi zombie gimana. Gue kan jadi khawatir." Balas Yuki.
"Hoi, gak sampai sejauh itu dong." Protes gue dan diakhiri tawa dari kami.
Gue ngerti kenapa Yuki sangat khawatir saat temannya terluka. Dan gue juga bisa memahami Triana yg ingin menampilkan permainan yg bagus, karena tau teman-temannya sedang mendukungnya.
Tapi satu hal yg membuat gue sedikit terkejut.
Sejak kapan Yuki dan Triana punya hubungan yg sangat dekat?.
Apa gue sudah banyak melewatkan moment atau semacamnya, sehingga gue gak menyadari kalau mereka saling dekat satu sama lain?. Padahal selama ini gue belum pernah melihat mereka melakukan sesuatu bersama.
"Kayanya kalian cukup dekat." Kata gue.
"Tentu saja kami dekat. Kita kan sahabatan ya na." Sahut Yuki.
"Sejak kapan?" Tanya gue penasaran.
"Kok lu kepo sih don, memangnya kenapa kalau gue deket sama Triana?" Yuki balas bertanya.
"Ya gak apa-apa, cuma ngerasa aneh aja." Balas gue.
"Emangnya apanya yg aneh." Ucap Yuki dibarengi tatapan sinisnya.
"Mungkin Donni ngerasa aneh karena dia gak pernah ngeliat kalian sedekat ini sebelumnya." Sela Putra.
"Sebenernya aku sama Yuki sering chatting di Line setelah pulang dari dufan." Jelas Triana.
"Dan kita juga udah beberapa kali hangout bareng kan na, pas liburan kemarin. Kalian aja yg gak tau, huuu." Sambung Yuki dengan nada meledek.
Hooo... Jadi mereka semakin akrab setelah pulang dari dufan. Baguslah, Sekarang mereka punya orang yg akan selalu mendukung dan sekaligus menjaga mereka. Orang yg akan mereka kenal dengan nama 'Sahabat'.
"Ih, gitu aja sombong." Balas Putra sambil meniru gaya bicara Yuki tadi.
"Gue sama Donni juga main game bareng pas liburan kemarin. Kalian aja yg gak tau, huuu." Lanjutnya.
"Stop put, gue mual liat lu kaya gitu barusan." Ucap gue.
"Lagian juga, gak ada bagus-bagusnya dari omongan lu itu. Nggak perlu di banggain segala." Sambung Gue.
Kami berempat pun kembali tertawa.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Buat yg sudah mampir, semoga terhibur dengan ceritanya.
Dibantu vote, share dan komennya juga ya.
Terima kasih :)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Highschool Story : First Step (TAMAT)
HumorKisah seorang anak bernama Donni yg memilih menjadi otaku, setelah berkali-kali di tolak oleh banyak wanita dan membuatnya menjadi bahan olok-olokan seluruh siswa seangkatannya saat SMP, memulai langkah pertamanya memasuki dunia SMA. Dia berusaha un...