[17] BERMAIN DI HUTAN

291 42 3
                                    

Seseorang akan memikirkan mati jika setiap masalahnya tak mendapatkan titik terang. Tetapi bagi Della, kematian hanyalah omong kosong.

---•••---

Della menunduk dalam-dalam. Ia bingung harus melewati jalan yang mana, jika memulai dari arah kiri seperti sebelumnya. Apakah akan berhasil?

Mendongak ia penuh harap. Melihat langit terang yang dihias awan putih di atas sana. Lagi, lelehan di sudut netranya mengalir begitu saja. Mana Della yang kuat, mana Della yang mampu mengumpat sesukanya. Di hadapkan dengan kejadian yang bertubi-tubi seperti ini Della mulai menyerah.

"Bagaimana caranya bisa sampai sebelum satu jam?" Della bertanya sendirian. Ia masih belum mengerti cara kerja dunia ini, jelas berbeda saat ia kembali setelah pingsan menahan sakit, dan sekarang masalahnya, tak ada yang mencoba menyakitinya, tak ada apapun kecuali semak belukar. Lalu, ia harus apa?

Della memiringkan netra ke arah kanan. Air mengalir terdengar di telinganya, rasa haus yang mengurung membuat Della mengambil keputusan mendadak.

Tergesa Della berjalan, namun ia tak menemui dari mana sumber air itu terdengar. Semakin lama melangkah Della semakin cukup merasa lelah hingga pijakannya terhenti. Duduk Della di tengah-tengah jalan dengan kerikil kecil di bawahnya.

"Ma, salah gue apa? Kenapa semuanya terjadi seperti ini. Dunia apa ini? Lalu bagaimana caranya kembali?" Della terisak. Ia menangkup wajah dengan kedua jemarinya lalu menangis.

"Araz, gue hanya punya lo. Tolong, temui gue di sini. Gue nyerah_"

"Dell."

Della melepas jemarinya lalu mendongak. Panggilan lagi, tetapi tak ada satu orang pun yang ada di sana. Suara yang sangat ia kenal, perlahan menghilang yang membuat Della bangkit.

"Araz. Di mana lo? Raz," panggil Della sembari melangkah. Anehnya, satu kali pijakan, kabut pekat mulai menampakan diri. Dua kali, semakin gelap dan menghitam. Della terdiam, dari sanalah ia mulai menyadari semua mulai tampak aneh.

Della memikirkan untuk berhitung tiga kali sebelum akhirnya ia berlari kencang.

"Satu...

Dua...

Tig_"

Kabut menghilang bersamaan dengan tertegunnya tubuh Della. Rumah paling akhir yang berada di depan jurang, ia sangat mengenali rumah itu. Cat keemasan dengan daun yang menjalar di setiap sudut dinding itu awal dimulai segalanya. Della mulai melepas rasa sesaknya, kaki kuat tadi seolah melemah hingga terjatuh menghujam tanah.

"Gue kembali. Gue pulang," ucap Della dengan getaran hebat di bibirnya. Tetesan peluh dan air mata beradu, semua yang Della rasakan kini hanya rasa letih, semua tulang di dalam tubuh seolah runtuh tak bertenaga.

Secepat mungkin ia bangkit, berjalan tertatih hingga sampai di depan pintu. Della singkapi perlahan, satu tarikan ia berhasil membukanya dengan lebar. Namun, kosong.

"Raz! Araz lo di mana?" Della masuk, membuka kamar yang senantiasa ia huni, masih kosong. Pelan tapi pasti ia kembali keluar. "Raz," ulang Della. "ARAZ!"

"Hiks," terduduk Della menahan sakit, isakkan yang lolos membuat ia menjadi gadis yang lemah. Dalam terduduknya, puncak kepala Della terasa hangat, seperti diusap dengan sangat lembut.

"Dell. Lo pulang?"

Della mendongak memperhatikan lelaki yang teramat ia kenali. Hari ini, ia melihat Araz mati tepat di depan mata. Hari ini juga, ia menjadi tersangka pembunuhan dari lelaki yang berdiri di hadapannya dengan tatapan amat sendu. Bangkit Della dibantu oleh Araz, saat gadis itu hendak bersuara sekadar menyumpahinya. Araz menarik lengan Della lalu mendekapnya sangat erat.

"Satu tahun lo pergi Della, gue kira lo lupa sama gue. Lo ninggalin gue gitu aja, di sini, di tempat sunyi ini."

"Terima kasih telah kembali. Terima kasih karena lo masih ingat tentang gue," pelukan itu diper-erat oleh Araz bersamaan dengan tetesan pertama yang meluruh di netranya. Della membeku.

Cukup lama mereka hening dalam pelukan hangat. Della melepas dekapan itu, meneliti wajah Araz dengan sangat lekat. Hembusan kasar mulai Della hempaskan.

"Apa maksud lo satu tahun Raz. Baru kemarin gue pergi_" ucapan Della terhenti, ia mengusap keningnya sendiri yang terasa pening. Mau mengatakan apa pun juga tak akan mengubah kenyataan bahwa di sini dan dunia yang baru Della temui tak sama.

"Ini gak beres. Bagaimana mungkin semua kejadian yang gue alami kemarin bisa menjadi satu tahun di sini."

"Lo mengalami apa aja Dell?" tanya Araz serius.

"Banyak," Della membulatkan matanya. "Apa satu kejadian, bisa beberapa hari di sini?"

Araz mengernyit bingung. Berbeda halnya dengan Della yang mulai tampak panik.

"Bertemu Arkan. Araz. Iraya. Kematian. Bunda. Kehamilan. Della lainnya. Rumah sakit. Polisi. Hingga hutan dan permainan."

Della berangsur mundur lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi kayu. Tatapan kian kosong saat ia mengingat lagi semuanya. Bahkan saat ia tersadar lalu menatap pakaian yang ia kenakan, sudah berganti dengan baju tidur hello kitty kesukaannya. Dan, goresan luka disekujur tubuh Della sudah menghilang.

Araz berjongkok. Ia meremat jemari Della lalu memberikan kehangatan saat gadis itu mulai tampak linglung. Entah dari mana keberanian Araz melakukannya, dan hal apa juga yang membuat Della luluh, padahal ia baru saja membenci lelaki yang meminta tubuhnya sebagai syarat.

"Kematian siapa?" dari semua hal yang Della ucapkan. Hanya kematian yang membuat Araz penasaran.

Della menunduk menatap lelaki yang terduduk di bawah kakinya. "Lo," singkat Della.

"Lo orangnya Araz. Lo mati bunuh diri di gedung sekolah tingkat sepuluh, dan gue, tersangka dari pembunuhan itu."

Della tertawa cukup keras, setidaknya ia ingin menertawakan semua kegilaan yang baru saja hadir dan berkeliling di pikirannya.

"Lo tahu apa yang lebih menggelikan. Gue hamil besar saat lo mati. Dan seorang Ibu yang menelfon gue meminta untuk ikut menyusul lo. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Araz menunjuk dirinya. Dengan gugup ia berucap. "G-gue mati? Bunuh diri?" ia menggeleng kuat, "Bagaimanapun juga gue gak akan mau mengakhiri hidup sepelik apa masalahnya Della_"

"Lo menghamili gue Raz. Dan lo gak mau bertanggung jawab!"

"Lo gila!" Araz bangkit dari duduknya. "Gue gak mungkin melakukan itu."

"Dia Azka. Lelaki dengan wajah seperti lo berada di sana. Dan apa lo tahu, dia memiliki sifat dan sikap yang sangat menjijikkan."

"Apa maksud lo Della?"

"Dia meminta tubuh gue sebagai syarat agar ponsel yang kita cari dikembalikan_"

"Sekarang, di mana ponsel itu?"

"Di kantor polisi."

Araz terdiam kikuk.

"Hanya ada satu cara lagi agar kita bisa mendapatkan ponsel itu."

"Bagaimana caranya?"

"Arkan. Ponsel itu ada padanya."

A N N A D E L L A

ANNADELLA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang