[18] GUDANG PENYIMPAN

265 39 2
                                    

Mereka mengurungmu di sana, memberikan setitik cahaya bukan untuk menerangi melainkan mengintip lalu tertawa dengan kencang.

---•••---

Araz berkacak pinggang sembari berpikir. Ia juga menatap Della yang tampak sangat lelah, sendu gurat gadis itu membuat Araz merasa terusik.

"Lo gak papa, kan?"

Della mengangguk. Ia membuang napas cukup kasar lalu bangkit perlahan. "Di mana semua orang. Maksud gue, Ibu dan Ayah yang berada di dalam rumah ini ke mana?" tanya Della, ia memutar penglihatan namun hanya kosong.

"Ibu dan Ayah? Tak ada siapapun di dalam rumah ini Della. Hanya kita berdua."

"Gak ada?" Araz mengangguk. "Gue gak mungkin salah Raz, karena pertama kali gue terbangun, panggilan keras dari mereka lah yang membuat gue bangun_" ucapan Della terhenti. Ia menelisik wajah Araz lekat-lekat.

"Lo tunggu di sini!"

"Kenapa? Lo mau kemana Dell?"

Della melangkah dengan cepat mengarah kamarnya. Ia menoleh lalu menunjuk. "Jangan ke mana-mana Raz. Lo harus berdiri di sana sampai gue kembali," ucap Della. Araz mengangguk.

Tanpa ragu ia membuka pintu kamar yang selalu menjadi tempat pulangnya awal-awal, setelah masuk Della menutup lalu terdiam. "Ibu dan Ayah," panggil Della dalam hatinya.

Jemari Della bergetar. Hanya untuk menyingkapi kembali pintu kamar itu kenapa perasaannya mulai tak tenang, ketakutan menjadi pembahasan pertama yang bekerja di otaknya.

"Lo harus bisa. Lo bisa meyakini satu hal ini Della," ujar Della meyakini diri. Dalam helaan panjang, ia menyingkapi perlahan hingga terbuka dengan lebar.

"Sayang. Kamu sudah kembali Nak."

Mereka ada di sana. Kedua orang tua Della sedang terduduk sembari menyiapkan makanan. Della tertegun, bukan jawaban yang ia siapkan, tetapi arahan mata yang tertuju kepada kursi tempat ia duduki saat bersama Araz beberapa menit berlalu.

Tak berubah, kursi kayu yang sempat dijauhi dari meja oleh Della masih sama, hal itu menandakan bahwa ia duduk di sana namun tempat yang berbeda. Dan mungkin saja, Araz masih berdiri di hadapannya sekarang, tetapi tak bisa Della tatap. Ini, dunia yang sama kah?

"Kenapa bengong? Ayok duduk. Ibu sudah_"

Della memutar tubuh dengan cepat lalu masuk. Mengabaikan suara wanita yang mengaku Ibunya, bahkan suara teriakan masih bergema di balik pintu kamar yang Della tutup sangat rapat.

Dalam keadaan tubuh yang bergetar, Della kembali memandang ke depan. "Araz," panggilnya dengan napas tercekat. "Kembalikan gue kepada Araz," ulangnya lalu membuka kembali pintu itu. Berhasil, lelaki yang ia suruh untuk menunggu menoleh menatap Della sembari berpangku tangan.

Dalam gelak yang tertahan. Air matanya menetes, memperhatikan Araz dengan dentuman sakit yang bergemuruh. Tertegun Della beberapa detik lalu tumbang ke lantai.

"Dell. Kenapa? Lo gak papa?"

"Capek Raz. Gue capek!" dalam isakan Della berucap dengan lirih. Kekuatan yang bergejolak di dalam tubuhnya telah memudar. Amarah dan tantangan yang selalu ingin Della coba, sekarang berganti dengan kepasrahan.

"Semua ini tak benar, dunia ini salah Raz. Gue gak tahu kenapa bisa berada di sini. Gue gak mengerti kenapa kehidupan kita seperti ini. Ini permainan Araz, ada yang memainkan kita lalu tertawa."

"Della," Araz menangkup bahu gadis itu dengan erat. Mengusap lelehan yang berjatuhan dari sana. "Kalau lo capek. Kita bisa tinggal di sini. Kita nikmati semua kehidupan yang ada di dunia ini."

"Hidup tanpa menemukan jati diri? Bagaimana caranya?"

"Jika memang tak ada jalan keluar. Itu tandanya mereka mengurung kita di sini selamanya Della."

"Gak!" Della menepis jemari Araz lalu bangkit. "Kita hanya perlu menemukan diary dan ponsel itu. Pasti ada jalan keluar dari sana."

"Lo bilang lo capek. Lo bilang fisik lo gak kuat. Ini sudah berapa tahun Della, dan lo masih belum bisa menemukan satu aja dari dua benda itu."

"Ini baru beberapa hari Raz. Bukan tahun!"

"Menurut lo kan? Di sini gue sudah menunggu satu tahun."

Della mendekat. "Kenapa lo hanya menunggu di sini Araz?"

"Apa maksud lo?"

"Kita coba menemukan ponsel itu sekali lagi. Tetapi berdua."

"Kantor polisi?" Della menggeleng.

"Restoran milik Arkan!"

"Bagaimana caranya? Lo tahu yang gue temui bukan jalan, melainkan pintu_"

"Lo pikirin Arkan, dan genggam tangan gue."

"Lo yakin?" Della mengangguk.

"Kita coba aja dulu," ucapnya dan melangkah masuk lalu diikuti oleh Araz. Cukup lama ia menimbang-nimbang di balik pintu. Bahkan ia juga melirik Araz beberapa kali untuk mengangguk.

"Lo siap?" Araz mengangguk. Della meremat jemari Araz dengan erat. Ia tutupi matanya lalu menyebut nama Arkan beberapa kali. Saat pintu berhasil ia tarik dan buka.

Bruk..

"Agh," telinganya berdengung hebat saat kardus berisikan berbagai macam bawang terjatuh dan mengenai kepala Della. Ia mengusap perlahan dengan mata yang terbuka lebar. Della mengangkat jemari yang kosong. Meneliti sekeliling ruangan gelap yang diterangi oleh cahaya yang masuk dari jendela kecil tengah tertutup.

"Araz," seperti dugaan awal. Lelaki itu pasti tak bisa ikut bersamanya. Sekali lagi Della sendirian di dunia asing. Dan sekarang, tempat apa dan di mana ini?

Bangkit Della perlahan. Memperhatikan jejeran kardus yang menumpuk menjulang. Bau berbagai macam bawang dan sayur mentah beradu di sana. Sejenak, tatapan Della terhenti. Tepat kepada buku yang terselip di antara tumpukkan kardus.

Della mendekat, meraih buku kecil berwarna hitam bersampul gadis berambut panjang nan cantik. "Diary?" Della membulatkan matanya. Debaran kuat mulai berpacu saat ia menyadari buku yang selama ini ia cari telah berada di tangannya.

Tak menunggu lama, ia membuka lembaran pertama dengan tulisan besar yang terpampang membuat jemari Della bergetar.

"Della."

Bruk..

"Kamu disuruh membawa kardus berisikan bawang aja sampe tiga jam," Arkan mendekat, menarik kardus yang semula menimpa kepala Della lalu melangkah. "Katanya mau mengambil ponsel. Jangan malas-malasan kerjanya."

Della mengangguk. Kenapa Arkan tak melihat buku di tangannya yang terjatuh. Dan apa yang terjadi dengan raut wajah Arkan yang baru saja ia pandangi. Lelaki itu memberinya senyuman singkat, tetapi sedikit ia miringkan.

Cukup lama hening dan berdebat sendiri. Della berjongkok memperhatikan buku kecil yang sudah terbuka lebar dilembaran pertama. Kalimat besar yang sangat mudah dibaca membuat Della menahan napasnya beberapa detik. Apa maksud dari semua ini?

"Selamat, kamu telah berhasil membunuh target pertamamu. Sofia! Sekarang, lanjutkan target keduamu Araz."

"Sofia? Siapa dia? Apa maksudnya target pertama?"

"DELLA!" buku tadi terlepas ulang. Della bergegas meraihnya meletakkan ke tempat awal lalu melangkah keluar, membawa perasaan yang kian berkabut.

"Selamat, kamu telah berhasil membunuh target pertamamu. Sekarang Araz, target keduamu Della!"

A N N A D E L L A

ANNADELLA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang