Dia tak pernah meminta untuk pulang, tetapi langkah selalu menuntun kembali.
---•••---
"Wah, menakjubkan sekali." singkat Della dalam helaan lelahnya.
"Jadi, lo datang ke sini bukan karena gue, melainkan ingin menemui kematian. Atau, kaki yang menuntun lo melangkah tanpa sadar?"
Sera tak bersuara. Ia berteriak di dalam hati, benar Della. Semua yang baru saja ia katakan itulah yang terjadi, kedatangannya ke sini bukan kemauan sendiri melainkan ditarik kuat dan tak bisa menolak.
"Lakukan! Kamu bisa membunuhku sekarang karena waktumu tak banyak lagi."
"Bagaimana kalau gue ingin bermain-main dulu dengan lo nenek lampir?"
"Apa maksudmu?"
"Pilih. Pembunuh atau penyelamat?"
Della menyeringai tipis, anggap saja ini ajang balas dendam atas apa yang membuatnya mati dalam kesakitan, tak ada ampun dari wanita ini ketika ia menikam pergelangan tangan Della bahkan besi runcing menyelam merobek tulangnya.
Bukan lagi rasa sakit di satu titik saja melainkan segala hal dalam raganya. Tanpa ampun Sera menyentak kuat, memekik tertahan hingga ingin mati, Della masih tak kunjung menerimanya.
"Sekarang, giliran gue bukan?" tanya Della sekali lagi. Sera termenung.
"Lakukan," pelan, sendu, memilukan terdengar dari penuturannya baru saja, tak sampai di sana, netra Sera mengeluarkan air bening bahkan berlomba terjatuh. Untuk pertama kalinya Della memandangi gurat aneh itu. Mana tawa yang merekah memekik, mana suara keras yang mengganggu, hari ini tepat di hadapan matanya. Sera, telah kalah.
"Sama sekali tak asik. Pembunuhan kali ini melelahkan," Della melipat kedua lengannya bersedekap, memandangi Sera yang terus bergeming seakan diikat kuat.
"Pembunuh atau penyelamat?" ulang Della sekali lagi.
"Pembunuh."
"Apakah ada perbedaan dari jawaban itu?"
"Tidak," balas Sera sambil menggeleng pelan.
"Lalu kenapa lo memilih pilihan yang berbeda dari gue?"
"Karena untuk memberitahumu bahwa jawaban di balik kedua pilihan itu tak memiliki harapan di dalamnya."
Della melepas lipatan tangan sembari menatap kian lekat. "Itu artinya gue gak bisa membunuh lo, karena pilihan penyelamat membuat gue terbebas saat itu."
"Salah Della, aku tak akan bisa membunuh seorang pembunuh."
Mungkin sudah tak asing lagi pembicaraan ini di dengar oleh Della, tetapi masih saja membuatnya segera menggeleng tak percaya. Setiap kali kejadian pembunuhan terjadi di hadapan matanya, bahkan darah yang memenuhi keseluruhan tubuh masih membuat ia berani menyorakkan satu pembelaan bahwa ia bukan pelakunya.
Della tak pernah merasakan bahwa ia membunuh siapapun, termasuk Anna.
"Gue pembunuh?" tanya Della diiringi kekehan pelan. Jemari gadis itu terulur, meraih lengan Sera lalu menariknya lebih dekat, sedangkan tangan kanan Della mengambil benda tajam kecil yang ia sembunyikan di balik saku celananya.
"Apa lo ingat saat tangan sialan ini menusukkan besi runcing di pergelangan tangan gue. Rasanya seperti dibunuh secara perlahan. Tulang gue bertemu benda itu lalu merobeknya tanpa ampun."
Sruk
"Agh,"
Tanpa aba-aba pisau kecil tadi ia tusukkan di pergelangan tangan Sera, wanita itu meringis menahan sakit namun terus tertahan. Tubuhnya membeku, bahkan untuk menggerakkan tangan kirinya saja ia tak mampu.
"Bagaimana? Sakit?" bisik Della dalam tawa kemenangan. Kembali ia melepas tusukkan itu bersama dengan darah yang menetes di seluruh tangannya, ia angkat lalu melesatkan tepat di leher Sera.
Kali ini Sera bisa mengangkat tangan kirinya lalu mencengkram lengan Della, meskipun darah segar keluar dari mulutnya Sera tak bisa bersuara.
"Mati lo!"
Sruk
"Mati lo sialan!"
Sruk
"D-dell," getaran kuat menghantam tubuh Sera saat ia berucap pilu. Sangat pelan ia bergerak lalu memeluk tubuh Della hingga tetesan darah memandikan kedua wanita itu.
Della terdiam kala jari-jari Sera meraih jemarinya lalu menyelipkan benda yang sangat ia kenali, itu sebuah ponsel. Setelah berhasil, wanita itu berucap lirih dalam dekapannya.
"N-omor p-punggung di b-baju t-tahanan. I-itu k-kuncinya_"
"L-lo sudah mati?"
"Lo bohong, kan? Lo gak bisa mati sialan!"
Bruk
Della memundurkan langkah menatap Sera yang tergeletak tak bernyawa. Ia perhatikan sekali lagi genangan darah di seluruh tubuh, bau amis menyengat bahkan hampir membuatnya muntah.
Dalam getaran yang masih mengurung, perlahan tapi pasti ia mengangkat ponsel yang berada digenggaman lalu menatap, saat itu jugalah layar benda pipih milik Sera menyala, ini membuktikan bahwa pemiliknya adalah Della. Sejenak.
"Ini apa?" semua menjadi sangat aneh kala foto dengan senyum manis di dalam layar itu dirinya bersama Anna. "I-ini gue, lalu dia siapa? Gak!" Della membekap mulut menahan rasa sesak, jika benar dia Anna itu artinya Della telah membunuh saudari kembarnya sendiri, itu berarti ucapan mereka benar bahwa ia hanya satu, dan Anna bukan dirinya yang lain.
"Gak! Ini bohong, buku sialan itu yang memberitahu bahwa gue harus mengakhiri hidup Anna! Kalian pembohong!"
"Kamu ditipu Della. Tapi kami berhasil."
"Sialan!" umpat Della seraya mendongak menatap langit, jelas sekali suara itu berasal dari atas, tetapi Della tak melihat apa pun kecuali awan.
"BAGAIMANA? SENANG BERMAIN-MAIN DENGAN GUE. KALIAN SENANG MEMPERMAINKAN GUE. SIALAN!"
"Kamu akan paham semuanya nanti Della, dan saat semuanya terungkap kamu akan berterima kasih kepada kami."
"DIAM!"
"Hahaha... Sebentar lagi, hanya menunggu waktu beberapa hari lagi kamu akan terbebas."
Melangkah Della tergesa agar suara memekik tadi menghilang, saat langkah kaki dipercepat ia menoleh ke belakang, di sana ia menemui rumah yang sama sekali tak asing. Della telah pulang tanpa perlu meminta untuk kembali. Haruskah Della tertawa sekarang?
"Kami beri kamu satu hadiah karena telah berhasil membunuh Sera dengan sadar, rumahmu sudah kami perdekat, selamat Della."
Della akan menjadi gila jika ia masih pusing memikirkan kejadian ini, karena pada dasarnya semua sudah menjadi gila dari awal ia terbangun.
Melangkah ia hingga sampai di depan pintu, membuka perlahan lalu masuk ke dalam, satu orang yang ia yakini masih berada di sana terus ia cari hingga akhirnya pintu kamar yang menjadi tempat paling abadi itu tersingkap, menampakkan Araz yang tegak menatap keluar jendela.
"Kamu sudah kembali Della?"
"Sudah."
"Siapa orang terakhir yang kamu bunuh? Anna atau Sera?"
Mata Della terbuka dengan lebar, mendekat ia sembari membawa ponsel dalam genggaman, saat sejengkal dari jarak mereka, Della kembali bersuara.
"Tahu dari mana kamu tentang Anna dan Sera? Siapa Sera?"
"Wanita yang pernah menusukan benda runcing di pergelangan tanganmu," Araz memutar tubuh, memperhatikan Della dengan tatapan tak biasa.
"Dan Anna, kembaran yang selalu ada di belakangmu. Menjaga bahkan membelamu saat kamu terjatuh," intonasi suara Araz berubah keras, ia menangkup kedua bahu Della lalu menguncang tubuh itu dengan kuat.
"Kamu pembunuh Della! Kamu psikopat!"
Prak
"PENJAHAT! MENJIJIKAN!"
A N N A D E L L A
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNADELLA [Tamat]
Short StoryHai. Selamat berpetualang di dunia Della Dunia Annadella Frasllyn tidak baik-baik saja. Kenapa? Karena ia melihat kematian dirinya dan kematian Araz beberapa kali. Mereka bilang, dunia ini hanya satu, lalu kenapa Della bertemu dunia lain hampir seti...