[19] PONSEL

285 40 2
                                    

Jangan membahas masa depan di hadapan gadis yang lo rusak masa depannya.

---•••---

Della melangkah pelan. Menuruni tangga kayu dengan perasaan yang gamang. Apa maksud dari tulisan yang ia baca, siapa Sofia? Dan kenapa ada nama Araz di sana. Target selanjutnya, apa Araz yang akan menjadi target selanjutnya? Tapi, bukankah Araz sudah.

"Dell."

Della terhenti lalu menatap Arkan yang terdiam sambil tersenyum. "Aku gak marahin kamu hari ini, karena kamu berhasil memasak nasi goreng dengan rasa yang sangat enak."

Ingin ia tergelak dan mencari seperti orang linglung. Tetapi, dunia ini bukan hanya ia yang menghuni, jika ada Arkan lain, sudah pasti ada Della lain juga di sini. Dan yang memasak nasi goreng itu, bukan dirinya. Namun. Kenapa mereka tak bisa saling bertemu dan bertatapan.

Della melengos, memperhatikan setiap meja yang masih saja ramai, tak ada satupun yang kosong. Saat ia melirik tepat pada barisan paling belakang. Mata Della membulat, gadis itu melambai padanya.

"Lo," dengan tergesa ia melangkah agar sampai, telunjuk Della terangkat dan bergetar yang ia arahkan kepada gadis yang masih tersenyum.

"Lama gak ketemu ya Dell. Kamu apa kabar?"

Jemari Della terjatuh. Ia sangat ingat bahwa gadis cantik yang tertawa pelan di sini ingin sekali membunuhnya.

"Lo siapa?"

"Dia Sofia Dell. Masa kamu lupa sama sahabat sendiri," Arkan menyela pertanyaan Della seraya meletakkan jus di hadapan Sofia. Ini lah yang membuat kening Della mengernyit bingung.

"S-sofia?"

Dalam anggukan Arkan. Sakit kembali menyentak jantungnya. Tubuh Della terasa seperti benturan kuat menghujam semua tulangnya.

"Dell," Sofia bangkit, menyentuh bahu Della yang semakin membuatnya merasakan sakit dua kali lipat lebih dari ini.

"L-lepasin gue," ucap Della terbata, Sofia melepas pegangannya lalu melirik Arkan sekilas.

"Duduk dulu Dell," pinta Arkan, ia menarik kursi yang semula digunakan Sofia dan memberikannya kepada Della. Gadis itu duduk, dalam tunduk dan tepukan dada yang terasa pedih. Bisikan lain mulai terdengar.

"Ketemu!"

"Gib. Bisa lo ambilin air putih hangat untuk Della."

"Siap bos."

"Della!"

"Dell."

"Della, lo kenapa?"

Della mendongak. "Iraya," panggilnya pelan.

"Iya, ini gue. Kenapa lo bisa berada di UKS? Apa yang terjadi?"

"UKS? Apa maksud lo Ra?"

Bangkit Della dengan cepat bersamaan dengan hembusan napas kasar yang keluar begitu saja. Kengiluan tadi menghilang, peluh menetes membasahi dahinya. Saat Della menatap, Araz berada di samping pintu sembari bersedekap dada.

"Araz?"

"Araz?" tanya Iraya. "Dia Azka Dell."

Lagi Della menepuk keningnya. Kenapa ia salah sebut saat dunia yang ia singgahi telah berpindah.

"Maaf_"

"Kenapa setiap kali lo ngeliat gue. Nama Araz selalu lo sebut. Siapa dia?" tanya Azka lalu mendekat. Della terdiam, kenapa menatap Azka ia sama sekali tak melihat Araz di dalam tubuh ini. Ia, dua orang dengan wajah yang serupa namun tubuh dan sifat yang berbeda.

Azka menopangkan kedua belah tangannya di brankar. "Ra, bisa lo pergi dari sini sebentar. Ada hal yang benar-benar penting ingin gue jelasin kepadanya."

Iraya mengangguk takut-takut lalu mundur perlahan. Tanpa sepatah katapun ia meninggalkan Della yang masih terduduk di sana.

"Gugurin kandungan lo. Gue yang akan mengurus biayanya."

Della meneliti gurat serius dari lelaki yang semakin mendekat ke arahnya. Hembusan napas yang keluar, terdengar dan mengusik sebagian wajah Della. Baru saja, apa yang ia dengar, dan debaran kuat ini, kenapa tiba-tiba datang.

"Kita hanya melakukannya sekali Della. Bagaimana bisa langsung jadi," tambah Azka dengan intonasi tertahan.

"Lo ngomong apa sih? Kapan kita ngelakuinnya. Jangan bercanda Azka, kita bahkan baru bertemu hari ini."

"Gak usah mendadak amnesia bego! Bukan sekarang waktunya!" Azka bangkit lalu menarik kasar rambutnya. Panik membuat Azka tak bisa lagi berpikir lebih jernih.

"Kita pergi sekarang. Gue akan menelfon Mak Suri yang pernah Sofia bilang dukun melahirkan di kampungnya_"

"Sofia?" Della turun dari brankar lalu menghadap Azka yang tengah ketakutan. "Gue mau ketemu dengan Sofia sekarang. Banyak yang mau gue tanyain sama dia?"

"Ngapain lo nyari Sofia. Yang sekarang lo pikirin anak dalam kandungan itu sialan. Kita harus membunuhnya sebelum membesar!"

"Gila lo!" sentak Della yang dipenuhi amarah. Ia menunjuk wajah Azka geram. "Lo gak akan tahu apa yang terjadi dan gue alami selama ini. Dan masalah bayi ini, dia akan menghilang kalau gue pindah ke dunia lain. Tujuan gue hanya untuk Sofia, setelah semuanya selesai, gue akan kembali ke gubuk_"

"Lo yang gila Dell. Kenapa lo selalu berubah-ubah. Kemana sikap pengecut lo yang kemarin. Kemana Della yang selalu menunduk dan menurut saat gue bicara?"

"Karena itu bukan gue. Seharusnya lo sadar Azka, kenapa lo bisa berhadapan dengan satu wajah tetapi dua sikap yang berbeda. Karena yang lo temui itu bukan satu tubuh. Tapi dua. Sama halnya yang gue alami. Ada lo dan Araz di dunia lain, kalian sama tapi berbeda."

"Sekarang bukan waktunya bercanda sialan!"

"SIAPA YANG BERCANDA!"

Della berteriak dengan kencang, namun tak ada orang lain yang mendengar di sana. Tak ada teriakan lain yang menyuruhnya diam, dan itu sama sekali tak normal.

"Apa gue pingsan karena gue hamil?" tanya Della di sela lelahnya. Azka kembali menatap.

"Bukannya tadi lo membantahnya?"

"Gue hanya bertanya kenapa gue bisa pingsan, dan lo hanya perlu menjawab iya atau enggak?"

"Gue capek membahasnya sama lo Della. Dari tadi gue membicarakan kehamilan yang lo bahas malah dunia lain. Sekarang bagaimana?"

"Apanya yang bagaimana? Lo berbuat, seharusnya bertanggung jawab sialan!"

"Jangan harap ya. Gue gak akan menghancurkan kepercayaan nyokap dan bokap gue. Dan, masa depan gue masih panjang_"

"Berani sekali lo menyebutkan masa depan kepada gadis yang lo hancurkan masa depannya," Della tertawa cukup kasar. Sekarang ini ia tak memikirkan tentang dirinya, melainkan tubuh gadis yang dihamili oleh Azka. Mungkin dirinya yang lain, dan itu entah siapa?

"Lo yang menantang gue Dell. Lo yang menerima persyaratan itu kan? Kenapa sekarang lo menyalahkan gue?"

"Syarat?"

"Apa. Lo lupa ingatan lagi. Lo menerima ponsel dengan tubuh lo sendiri sekarang pura-pura gak tahu? Hebat sekali lo Dell."

"Tunggu. Jadi kematian Azka waktu itu apa ada hubungannya dengan kehamilan ini? Gue gak mau menggugurkannya sehingga Azka membunuh dirinya sendiri. Tidak!" Della menggeleng. "Waktu itu ada diri gue yang berada di atas gedung, apa Azka dibunuh? Dan saat kejadian itu terjadi. Gue sedang hamil besar. Apa semuanya dimulai dari sini. Sekarang?"

"Lo ngomong apa Dell?"

A N N A D E L L A

ANNADELLA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang