[31] MEMBUNUH DIRI SENDIRI

406 38 1
                                    

Kadang kita harus bersikap egois hanya untuk bertahan hidup.

---•••---

Dengungan tadi menghilang, sakit yang melingkari kepala Della berangsur membaik, sekarang tatapan itu ter-arah kepada lantai yang masih tergenang darah segar, mual menyerangnya bahkan ketakutan datang lagi tak bisa ia tolak.

"Dell. Sebenarnya lo kenapa? Apa yang lo rasain? Apa Arkan menyakiti lo?" pertanyaan Shiena mulai bertubi-tubi, namun tak bisa Della jawab, ia terus menyembuhkan rasa sesak yang tersengal dan menenangkan diri sendiri.

"Dell_"

"Terusin Shi, siapa Arkan?"

Mereka terdiam, tatapan mereka berubah menjadi nyalang saat Della masih mengharapkan jawaban itu, tetapi.

"Della, selesaikan pekerjaan kamu atau saya akan membuat rasa sakit semakin bertambah."

"Atau, lebih sakit saat kita berada di hutan."

Della mendongak, kali ini ia mengenali suara itu, wanita yang ia temui di luar dan wanita yang membuat dendam dalam hatinya terbuka. Sekarang, semakin bertambah bahkan membunuhnya suatu keinginan yang harus ia wujudkan.

"Della," panggil Yeri saat gadis itu bangkit. "Mau kemana?"

"Tolong, sebentar aja izinin gue berbicara sama Anna. Setelah itu gue akan pergi, gue janji gak akan ke sini lagi."

"Lo yakin?" tanya Yeri sembari memperhatikan wajah Della dengan sangat intens.

Della menoleh, menatap mata Yeri yang serupa dengan Iraya sahabatnya. Kali ini, kepedihan menjalar memekik hingga tetesan bening di kedua netra Della meluruh, tak bisa ia bendung lagi.

"Yeri," dalam isakan pedih, ia menyeka air matanya. "Boleh gue memeluk lo? Sekali aja," pintanya pelan, namun sangat menyayat.

Yeri membeku, entah apa yang membuat gejolak marah di dalam detakkan jantungnya seakan berhenti lalu digantikan dengan kesenduan tanpa bisa ia hentikan. Refleks, jemari Yeri terangkat untuk mengusap lelehan dikedua sisi wajah Della, namun justru membuat gadis itu semakin terisak.

"Lo sahabat gue Yeri. Lo penting untuk gue. Maaf, kalau gue punya kesalahan yang menyakiti diri lo. Maa_"

Dekapan Yeri membuat Della terhenti berucap, semakin erat pelukan Yeri membuat kehangatan dan ketenangan beradu di sana. Della melingkarkan lengannya, memperkuat dan menangis lagi enggan terhenti.

"Gue membenci lo Della. Lo merebut Azka dari Shiena, menyakiti Anna bahkan membullynya di sekolah. Lo bahkan memfitnah gue mencuri. Segala hal yang menyakitkan gak akan mungkin bisa gue maafkan Della, terlebih saat lo sengaja mendorong Anna hingga dia kecelakaan dan koma. Tapi," Yeri menjeda ucapannya. Air mata yang tertampung terjatuh bersamaan dengan luka yang menganga ulang.

"Kenapa sekarang semua kebencian itu seolah hilang, semuanya hangus tak tersisa. Apa yang membuat gue kek gini Dell?"

"G-gue melakukan semua kejahatan itu?" Della melepas pelukannya, mendekap bahu Yeri yang sekarang ikut menangis. "Gak. Gue gak pernah melakukan semua yang lo tuduhkan Yeri. Gue bahkan gak mengingat apa-apa?"

"Della. Kamu benar-benar memperlama waktu rupanya?"

"Agh."

"Dell, lo gak papa?"

Della menggeleng. "Waktu gue hampir habis. Bisakah kalian keluar sebentar," pinta Della memelan, mereka saling pandang lalu mengangguk. Ragu-ragu Shiena melangkah bahkan berulang kali menoleh ke belakang sebelum akhirnya punggung Shiena tertutup di balik pintu.

Della menunduk, meneliti sekali lagi darah yang sekarang mulai mengering. Lalu beranjak mendekati Anna. Ia usap jemari gadis yang sama dengannya, memperhatikan wajah seolah bercermin.

"Lo siapa sebenarnya Anna? Apa lo benar bagian dalam diri gue? Lalu, tugas apa yang lo lakukan di dunia ini?" Della mendekat untuk berbisik.

"Anna, apa bisa lo memberitahu gue segalanya, tak perlu dengan cara lo terbangun, cukup temukan gue dengan seseorang yang menjelaskan cerita rumit ini."

"Na, waktu gue cuma beberapa menit lagi, sebelum semuanya terlambat, tolong dengerin gue. Gue hanya butuh jalan untuk pulang dan pintu untuk kembali. Gue yakin, lo pasti akan menunjukkan sesuatu, kan?"

"Della."

"Ah sialan! Bisakah lo diam!" bentak Della saat ia kembali berdiri tegak. Dalam hembusan napas kasarnya tangan itu bergerak sendiri meraih pisau kecil yang tertera di atas nakas, Della angkat untuk meneliti dengan seringaian kecilnya.

Netra Della teralih, jelas ke arah Anna yang tengah terbaring di sana. "Maaf Anna, kadang harus menjadi egois agar bisa bertahan hidup."

Sruk..

Pisau kecil yang ia pegang tertancap tepat di leher gadis itu sehingga darah mulai keluar dan menetes di balik genggamannya, bukan darah Anna saja melainkan darah tangan Della yang ikut terkena sayatan pisau.

Della mencabut lalu mengayunkan untuk yang kedua kali sehingga suara mesin EKG mulai berisik. Tak hanya sampai di situ, ia juga memutar arahan pisau menyebabkan luka tadi semakin dalam dan menganga.

Cipratan darah mengenai brankar dan lengan Della. Perlahan, ia mengangkat jemarinya, memandangi pemandangan yang amat mengerikan namun menenangkan dirinya. Untuk pertama kali Della tertawa saat lumuran darah bersatu dikedua jemari hingga menetes di bajunya.

"Hah. Lega," ucap Della saat ia meyakini tubuh itu tak lagi memiliki nyawa. Pada dasarnya ia cukup yakin bahwa tubuh ini sama sekali tak hidup. Anna sudah mati bahkan dari lama.

"Berhasil. Kamu berhasil membunuhnya."

Della tersadar. Tangan yang memegang pisau terlepas lalu ia bekap mulutnya. Sekarang, wajah mulus itu ikut bersimbah darah.

"I-ini apa? G-gue pembunuh," ia meneliti sekali lagi telapak tangan dengan sayatan luka, lalu berteriak.

"Gak. Ini gila, gue gak mungkin membunuh orang?"

"Psikopat! Hahah. Setelah membunuh dengan kejam sekarang bertindak seolah-olah tak tahu apa pun, cih."

"Siapa lo? Ini pasti perbuatan lo, kan? Lo yang membunuh Azka, membunuh Sofia bahkan Anna. Jujur sialan! Tunjukkin diri lo sekarang!"

"Lihatlah, tanganmu penuh dengan darah, luka dari sayatan itu bisa menjadi sebuah bukti, lalu sekarang kamu menuduh kami. Hahah, lawak sekali kamu Della."

"Gak."

Menyangkal pun tak akan mengubah segala hal, tentang Della menjadi seorang pembunuh tak lagi bisa dipungkiri, semua bukti terus mengarah kepada gadis itu, jika pun nanti polisi datang lalu memeriksa, ini akan menjadi suatu hal yang menguntungkan bagi Della, karena darahnya dan Anna, sama.

Tertawa Della dengan pikiran yang baru saja datang, ia raih lagi pisau yang jatuh dan ia sembunyikan di balik saku celananya. Kamar yang sekarang berubah menjadi darah perlahan ditinggalkan oleh Della. Ia ingin membuka lagi pintu untuk memastikan bahwa tulisan di buku diary itu benar.

Saat pegangan jemari Della sudah menguat, ia membuka pintu dengan satu tarikan kasar, dan benar. Tak ada apa pun di balik sana. Kosong, sunyi dan hampa. Mereka, telah menghilang.

"Anna, jika kamu berhasil membunuhnya, maka semua orang yang telah mati di dunia itu akan menghilang, setelahnya. Bunuh orang yang telah menyakiti dirimu. Della."

A N N A D E L L A

ANNADELLA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang