24. Senja, Cerita, dan Luka

1K 137 7
                                    

BASKET mungkin satu-satunya alasan yang membuat Jakaria Kalandra masih bisa bertahan sampai detik ini.

Mendapat gelar kapten dari ekskul basket di sekolahnya adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi laki-laki yang akrab disapa Jaka tersebut. Karena dengan begitu, orang-orang akan lebih mengenalinya.

Caranya memimpin pertandingan, caranya menguasai bola, atau bahkan saat ia berhasil menembakkan bola tepat pada ring; saat itulah semua orang akan bersorak padanya. Meneriakkan namanya seolah ia telah melakukan hal yang berdampak besar pada perubahan dunia. Begitu pula saat ia merasa jika hidupnya tak berjalan dengan sia-sia belaka --setidaknya ada sesuatu yang ia banggakan pada kedua orangtuanya kelak.

Tangannya bergerak membuka pintu kulkas minimarket. Kemudian meraih dua botol minuman kaleng dan setelahnya ia tutup kembali.

Namun, sepertinya semuanya akan tetap sia-sia di mata kedua orangtuanya. Mengingat masih ada si brengsek sialan itu yang akan selalu menjadi yang pertama.

Johan Bratadikara.

Mahasiswa ilmu hukum yang menjadi kebanggan semua orang. Selalu mendapat nilai plus dari orang-orang terdekatnya yang tahu betul akan perilakunya yang berpendidikan. Hingga membuat semua orang tak percaya jika Jaka merupakan adik semata wayang dari laki-laki sempurna yang jarang melakukan kesalahan itu.

"Kenapa sih kamu tuh enggak bisa jadi kayak kakakmu? Kalem, nurut, pinter, ada yang bisa Mama Papa banggain di depan teman-teman. Lah, kamu, apanya yang mau dibanggain? Tiap Minggu keluar masuk BK, berantem lah, apalah, selalu saja ada laporan ini itu dari sekolah." Tempo hari, sang Ibu yang tak berperasaan berkata demikian.

Anjing.

Jaka yang berantakan, selalu dibanding-bandingkan dengan Johan yang hidupnya sudah tertata rapi.

Hal itulah yang membuatnya kini selalu malas pulang ke rumah. Karena sang kakak yang sudah sepekan yang lalu berada di rumah karena tengah menjalani masa lockdown, bersama para adik tingkatnya; Tama--sepupunya, Shaka--kakaknya Deka, juga Senja yang merupakan sepupu dari Luna-- yang membuat Jaka semakin merasa tak betah berlama-lama ada di rumah.

"Masnya bisa minggir gak?"

Sebuah suara di balik punggungnya membuat Jaka terlonjak kecil. Ia spontan membalikkan tubuh. "Lah, elo?"

Orang itu sama terkejutnya.

"Mama mau ke supermarket bentar, kamu mau nitip apa?"

Yugo yang sedang asik menonton film menoleh pada sang Ibu yang melangkah melewati ruang TV.

"Hm? Tumben banget jam segini."

"Persediaan bahan pokok sudah habis." Mama menghela napas sesaat. "Papa kamu itu gak bisa diandalkan. Cepetan mau pesan apa?"

"Apa aja deh yang penting bisa dimakan."

"Ya sudah, jangan protes kalau nanti Mama beli yang enggak kamu sukai," kata Mama.

"Ya elah Ma, aku ini omnivora. Santai," celetuk Yugo membuat Ibunya hanya bisa menggeleng pasrah, kemudian melangkah keluar.

Yugo terbahak setelah itu. "Buset, kartun aja bisa mesra-mesraan gitu, lah gue kapan anying?"

Hm, cowok itu sedang menonton serial kartun. Awalnya Yugo ingin pergi ke rumah Jian yang hanya dipisahkan oleh satu rumah saja untuk meminta makanan, karena katanya gadis itu baru saja membuat beberapa camilan. Namun sepertinya ia terlalu malas untuk melangkah keluar rumah.

Ngomong-ngomong, Jian dan Yugo adalah dua orang yang sudah berteman sejak kecil. Tak banyak yang tahu bahwa kedua manusia yang memiliki karakteristik berbeda itu adalah sosok adik-kakak yang akan saling melindungi satu sama lain.

quarantine, 97 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang