32. Suspicious

758 133 15
                                    

MALAM itu Bama tak pulang. Entah kemana dia pergi dan entah apa yang dilakukannya membuat Lissa merasa tak tenang. Gadis itu tidak bisa tidur semalaman. Pikirannya terus dipenuhi oleh kejadian kemarin malam yang begitu kacau dengan akhir yang mengerikan.

"Beraninya kamu mempermalukan Mama tadi!" Wanita itu membentak. Walau begitu mata dan tangannya tetap fokus mengendara. "Biar bagaimanapun mereka itu cukup penting untuk karier Mama kedepannya. Dengan kamu bertindak demikian, sama aja kamu udah menghancurkan semua harapan Mama."

Lissa membuang muka ke jendela mobil yang basah karena gerimis kecil. Gadis itu mencoba mengatur napas, menguasai diri agar tak meledak di depan sang Ibu.

"Mama enggak mau tahu, pokoknya kamu harus bujuk Bama supaya mau bertunangan sama kamu!" ucap wanita berusia 36 tahun itu dengan tegas. "Ini juga demi kebaikan kamu."

Lissa kali ini menoleh, dengan tatapan marah sekaligus kecewa. Gadis itu tak habis pikir, di antara kesialan-kesialan dalam hidupnya, semua itu berasal dari Ibu kandungnya sendiri. Seolah-olah wanita itu tengah melampiaskan seluruh kekesalannya pada si anak semata wayangnya yang tidak tahu apa-apa.


Tersadar dari lamunannya --saat ia hampir beradu cekcok dengan Ibunya setelah peristiwa tadi malam-- Lissa kembali mengalihkan pandangannya pada jendela kamarnya yang terbuka lebar-lebar. Berharap ada manusia berisik yang akan menyapanya, seperti yang dilakukannya setiap hari.

Namun sampai pagi ini, sosok itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.

"Udah cocok lo semua jadi pembohong handal tadi," kekeh Jehan.

"Berbohong demi kebaikan mah gak apa-apa kali, Tuhan juga tahu kita lagi membela teman yang tertindas," celetuk Jaka membuat Bama yang tahu kalimat itu ditujukan padanya langsung menoleh sebal.

"Sok-sokan lo inget Tuhan, ibadah juga jarang," sarkas Ennu, yang disindir hanya cengengesan saja.

"Lagian ini siapa sih, anjing, yang fotoin kita diem-diem?! Ada masalah apa coba sini ribut sama gue!" kata Miguel emosi. Yang lain mencoba menenangkan dengan memegangi kedua tangannya.

Kelimanya kini sudah berada di pinggir lapangan yang sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sekolah ini kecuali terdapat beberapa siswa yang terlihat berlalu-lalang. Antara ingin menyerahkan tugas pada guru yang bersangkutan, atau mungkin sengaja bermain sebentar di tempat yang diam-diam mereka rindukan.

"Kalem kalem, main ganteng aja kita," sahut Jaka dengan dagu terangkat.

"Gue penasaran, siapa coba yang iseng ngikutin kita sampe ke club segala kemarin? Gak ada kerjaan banget anjir," kata Ennu.

Miguel dan Jaka saling pandang, kemudian mengangkat bahu tak tahu-menahu.

"Sebenarnya kemarin gue sempet ngeliat ada mobil yang ngikutin pas kita keluar dari area club," kata Jehan membuat semuanya menoleh kepadanya.

"Yang mobil merah itu?" tanya Miguel tersadar sendiri, Jehan mengangguk membenarkan.

"Mungkin gak sih kalo tuh orang yang udah fotoin kita diem-diem dari dalem mobil? Makanya kita gak tau. Tapi buat apa?" tanya Ennu kemudian.

"Eh, Je, lawan lo kemarin pas pemilihan ketos itu siapa aja dah?" tanya Jaka tiba-tiba membuat Jehan menoleh bingung.

"Hah? Emangnya kenapa?"

quarantine, 97 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang