UNTUK yang kesekian kalinya, Jaka membenci rumahnya. Dan untuk yang kesekian kalinya juga ia berharap tak menjadi bagian dari rumah ini.
Menurut sebagian orang, rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang. Tempat dimana kita mendapat cukup banyak kasih sayang, mendapat banyak support, mendapat banyak kehangatan, dan tempat dimana kita merasa tenang.
Namun bagaimana dengan mereka yang bahkan tidak mendapatkan hal itu di rumahnya sendiri? Lantas, apa sebenarnya definisi dari rumah itu sendiri?
"Gimana kuliahnya, Kak?"
"Lancar, Pa. Cuma lagi hectic aja karena kakak masuk komunitas Peradilan Semu."
"Wah... Udah sejauh mana progress-nya?"
"Sekarang ini sih lagi nyusun berkas persidangan. Kebetulan kelompok kakak mengambil tema kasus korupsi. Dan kayaknya siang ini kita akan melakukan riset lagi di kejaksaan negeri," jelas Joan dengan pembawaan tenang seperti biasa.
"Bagus itu. Pertahankan kerja kerasmu dan bikin Papa sama Mama bangga ya, nak," ucap pria setengah baya itu menepuk bahu putranya bangga.
"Meski begitu, tetap pikirkan kondisi tubuh kamu." Sang Mama menambahkan sesendok daging ke piring anak pertamanya itu. "Mama liat kemarin malam kamu ketiduran di depan laptop."
Lihat, kan? Sejak tadi yang mereka bahas selalu saja Joan. Sementara Jaka dianggap tidak ada. Jaka lantas menghabiskan makanannya agar ia bisa cepat-cepat pergi dari ruangan ini.
"Oh, iya. Untuk sementara waktu, kartu ATM adek Mama blokir."
Jaka yang sedang fokus mengunyah tiba-tiba tersedak. Joan yang melihat itu buru-buru mengambilkan minum untuk adiknya.
Sialan! umpatnya dalam hati. "Kenapa gitu sih, Ma?"
"Suruh siapa kamu hambur-hamburin uang? Mama udah bilang jangan boros, tapi kemarin Mama cek saldo kamu tinggal sedikit--"
"Itu juga buat belanja kebutuhanku, Ma," potong Jaka. "Dipikir aku gak butuh apa-apa buat kebutuhan aku belajar di rumah?"
"Kebutuhan apa? Kamu pikir Mama gak tau? Kamu pakai uang itu buat clubbing, kan?!"
Sekali lagi, Jaka seakan baru dihantam oleh ombak yang sangat besar. Bagaimana bisa Mamanya tahu? Padahal seminggu yang lalu ia sudah membuat perjanjian dengan Joan agar jangan pernah memberitahu mereka mengenai masalahnya yang satu itu.
Waktu itu yang mewakili Jaka ke sekolah untuk menemui wali kelas adalah Joan, karena orang tuanya begitu sibuk dengan pekerjaannya.
Sebenarnya sih, uang itu ia gunakan untuk membayar biaya Bama sewaktu di club karena keadaan cowok itu yang tidak memungkinkan untuk dimintai uang. Dan Jaka yang kebetulan selalu membawa kartu Atm-nya terpaksa harus turun tangan dan membayarnya dengan jumlah yang tak sedikit.
"Apa? Adek pergi ke club?!" tanya Papa kaget sekaligus tak percaya.
Jaka langsung menunduk. Tak berani menatap wajah lelaki itu yang kelihatannya sebentar lagi akan meluapkan seluruh amarahnya.
"Ngapain kamu pergi ke sana? Kakakmu aja yang udah legal gak pernah pergi ke tempat itu," sentak Papa. "Kali ini pergaulan kamu sudah kelewat batas, Jakaria. Papa benar-benar gak habis pikir lagi sama kelakuan kamu itu."
"Tenang dulu, Pa." Joan membela. "Sebenarnya Jaka sama sekali enggak pergi ke tempat itu. Waktu itu ada seseorang yang sengaja fitnah dia, dan--"
"Diam kamu, Joan! Kamu ini selalu saja menutupi masalah dia dari Papa dan Mama! Kalau kamu gini terus, yang ada adikmu ini makin liar. Makin diluar kendali," bentak Papa, sudah di puncak emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
quarantine, 97 ✔
Ficção Adolescenteft. 97line Kelas yang semua orang pikir sempurna, sama sekali tak lebih dari sekumpulan manusia biasa yang sejatinya menginginkan kehidupan baik-baik saja. Ini tentang 11 MIPA 4. Juga tentang kehidupan di tengah merebaknya pandemi, dengan masing-ma...