40. Saat Seseorang Terluka

769 102 10
                                    

SUARA ketukan dari luar membuat Jiyo yang sedang asik bermain hp di ruang TV seketika bangkit dan beranjak ke ruang tamu untuk membukakan pintu.

"Gue kira lo gak bakalan datang," kata Jiyo tersenyum girang.

"Ini peluang besar, gak mungkin gue lewatin gitu aja," sahut Zihao balas tersenyum.

Jiyo tertawa. "Iya deh, ayo masuk."

Zihao mengangguk dan segera mengekori Jiyo masuk ke dalam rumah.

"Duduk dulu, Hao. Gue panggil Mama dulu bentar," ucap Jiyo kemudian berjalan ke arah dapur dimana sang Mama berada.

Tak sampai dua menit, Jiyo kembali dengan seorang wanita cantik. Menurut Zihao, Jiyo dan Mamanya begitu mirip. Memiliki mata bulat dan kulit agak kecoklatan. Dan tentu saja keduanya sama-sama cantik.

"Nih, Ma, temenku yang waktu itu aku ceritain." Jiyo melirik Zihao sambil duduk di sofa.

"Tante," sapa Zihao sopan.

Mama Jiyo balas tersenyum ramah. "Oh, jadi kamu yang masih muda tapi udah punya penghasilan sendiri itu? Hebat juga ya."

Zihao melirik kecil Jiyo, membuat Jiyo yang mengerti hanya cengengesan saja sambil diam-diam mengangkat ibu jarinya.

"Ah, enggak, Tante. Biasa aja kok," jawab Zihao malu-malu.

"Nak Zihao lagi jalanin bisnis apa sekarang?"

"Panggil Hao aja, Tante." Zihao tersenyum. "Cuma bisnis kecil-kecilan aja sih, Tan. Kayak usaha jastip atau joinan bareng sodara yang kebetulan juga punya usaha bisnis. Atau enggak saya suka bantuin Mama saya promosiin Tupperware ke orang-orang."

"Waduh, hebat banget ya kamu. Tante enggak nyangka loh jaman sekarang masih ada anak yang mau bantuin usaha orangtunya, apalagi ini laki-laki. Orangtuamu pasti bangga punya anak seperti kamu," puji Mama Jiyo.

Lagi-lagi Zihao berhasil dibuat tersipu. "Selain itu saya juga jualan pulsa, token listrik, sama aplikasi premium. Oh ya, saya juga bisa top up saldo, Tan. Kalo Tante butuh bisa chat saya aja, dijamin fast respon kok," ucapnya dengan gaya seperti orang yang sedang berpromosi.

Jiyo sukses ternganga melihat aksi cowok itu yang dengan lancarnya mempromosikan semua usahanya. Sepertinya memang benar apa yang selama ini orang-orang katakan, kalau jiwa dagang Zihao memang sudah sangat melekat di tubuhnya.

"Aa.. okay," Mama Jiyo pun sampai kehilangan kata-kata. "Sebenarnya, Tante ingin memulai usaha bisnis, Hao. Dan kayaknya Tante gak salah udah pilih kamu buat bantuin usaha Tante ini."

"Bisnis apa Tante kalo boleh tau?" tanya Zihao tertarik.

"Bisnis makanan. Semacam brownies atau makanan manis lainnya. Soalnya sejauh ini Tante cuma bisa bikin kayak gituan aja sih," jelas Mama Jiyo bersemangat.

"Wih boleh tuh, Tan! Menurut saya sih kalo makanan cepet balik modalnya. Dulu saya pernah iseng joinan kue bareng sodara eh laku banyak, Tan," seru Zihao tak kalah menggebunya.

"Tapi, jujur sih kalo untuk sekarang Tante belum punya cukup modal."

"Itumah urusan gampang, kita bikin usaha kecil-kecilan aja dulu. Gunain modal yang Tante punya, nanti saya bantu dikit-dikit deh. Nanti biar saya sama Jiyo yang memasarkannya. Ngomong-ngomong saya juga punya akun khusus jualan, Tan. Jadi itu urusan gampang deh," jelas Zihao

Jiyo dan sang Mama saling pandang. Kemudian keduanya kompak tersenyum. Berharap jika kedatangan Zihao ini akan berdampak pada kehidupannya agar menjadi lebih baik lagi.

Lissa sempat terusik saat mendengar suara bising di luar sana, yang kemudian ia terbangun sepenuhnya saat menyadari suara itu berasal dari rumah sebelah. Gadis itu melirik jam yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Ah, lagi-lagi ia ketiduran.

Sekolah online ini membuat Lissa yang sebelumnya sudah malas menjadi semakin malas. Mentang-mentang berada di rumah saja, ia bisa seharian tidur tanpa terganggu oleh berisiknya keadaan di luar. Tugas-tugas pun jarang ia kerjakan kalau bukan karena Rosie yang selalu memberikan contekannya dengan sukarela.

"Bama udah balik?"

Lissa buru-buru bangkit dari sofa dan mematikan TV. Lalu melangkahkan kakinya keluar rumah.

Tak membutuhkan waktu satu menit bagi Lissa untuk sampai ke rumah bercat putih itu. Sebuah mobil terparkir di depan rumah, namun Lissa tak melihat ada motor Bama di sana. Kemana cowok itu?

Tak mau ambil peduli, Lissa melanjutkan langkahnya untuk pergi ke rumah itu. Sesampainya di sana ia langsung mengetuk pintu. Dan tak butuh waktu lama sampai pintu itu terbuka, menampilkan sosok wanita cantik yang langsung melontarkan senyum ramahnya pada Lissa.

"Bama-nya ada, Tante?"

"Ada, barusan banget pulang dari sekolah. Ayo masuk, sayang."

Lissa merapatkan bibir, tampak ragu untuk bertanya. "Eum.. hasilnya gimana, Tan? Bama gak kenapa-napa, kan?"

"Enggak kok, tenang." Mama Bama menggeleng kecil. "Cuma ya itu, Sa, ada sedikit kemungkinan Bama akan dikeluarkan dari sekolah."

"Apa?!" Lissa membelalakkan matanya. "Kok bisa?"

"Kasusnya mungkin terlalu berat untuk seukuran anak sekolah seperti Bama, apalagi dengan keadaan pandemi seperti sekarang ini." Wanita itu sempat memijit pelipisnya sebentar. "Tante tuh bener-bener gak habis pikir deh sama anak itu, bisa-bisanya dia bertindak seceroboh ini."

"Emang gak ada jalan lain selain dikeluarkan? Semacam sanksi sosial gitu?" tanya Lissa ingin tahu. "Karena terlepas dari kasus ini, Bama termasuk murid aktif. Dia punya prestasi di bidang olahraga, di kelas pun dia jarang ada masalah dengan guru mata pelajaran."

"Tante juga kurang tahu, Sa. Tapi kali ini kasusnya benar-benar sudah diluar batas. Kita serahin aja semuanya ke pihak sekolah ya," ujar wanita itu sempat mengusap rambut Lissa. "Tante sama Om juga gak akan diem aja, kita bakalan bantu Bama semaksimal mungkin. Kamu juga bantu doa ya?"

"Pasti, Tan."

"Bama ada di atas, kalo mau ketemu samperin aja. Tante mau ke dapur dulu," ucapnya sambil beranjak pergi.

"Iya, Tan, makasih. Lissa ke atas dulu." Setelah berkata demikian, gadis itu langsung memacu langkahnya untuk menaiki tangga. Begitu kakinya sampai di depan pintu, ia langsung mengetuk tiga kali.

"Bam, ini gue."

Pintu itu terbuka beberapa detik kemudian. Dengan pemandangan seorang bocah laki-laki menyedihkan yang berdiri di hadapannya. Wajahnya lusuh, rambutnya berantakan, dan ada memar kecil di sekitar tulang pipinya. Namun demikian, ia tetap tersenyum. Sama seperti Bama yang Lissa kenal selama ini.

Detak jantung Lissa seketika berdegup dua kali lebih cepat. Tubuhnya mematung di tempat selama beberapa saat. Entah kenapa dadanya terasa sakit melihat Bama sekacau ini.

"Lo.. enggak baik-baik aja, kan?"

Retoris.

Lissa bahkan sudah tahu sejak awal jika pemuda itu memang tidak pernah merasa baik-baik saja.

"Bilang sama gue lo gak baik-baik aja."

Suaranya terdengar serak. Lissa bisa melihat ada sesuatu yang jauh lebih menyakitkan ketimbang apapun pada binar mata pemuda malang itu. Jelas sekali ia sedang menyembunyikan lukanya, menyembunyikan seluruh rasa sakitnya dari semua orang.

"Hm, gue enggak baik-baik aja, Sa."

Sejurus kemudian Bama menarik gadis itu ke pelukannya. Dan sekali itu saja, setelah sekian lama akhirnya ia menemukan dirinya yang lemah dan terluka.



 Dan sekali itu saja, setelah sekian lama akhirnya ia menemukan dirinya yang lemah dan terluka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


quarantine, 97 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang