36. Falling Apart

782 108 17
                                    

SEJAK satu Minggu yang lalu --tepatnya setelah insiden maboknya Bama yang merepotkan banyak orang itu-- Luna kian menjauh dari Jaka.

Terakhir kali mereka berhubungan adalah saat Jaka memberitahukan hasil tes PCR dirinya dan keempat bocah lainnya itu yang terbebas dari paparan virus. Tentu saja Luna sangat lega mendengarnya. Namun setelah itu, keduanya tak lagi saling berinteraksi satu sama lain.

Luna tak tahu kenapa dirinya bisa sekesal ini kepada Jaka. Bahkan untuk melihat wajahnya saja di layar laptopnya ia merasa enggan. Luna yang biasanya selalu merepotkan cowok itu walau hanya sekadar mengantarnya membeli jajanan di minimarket dekat kompleknya, kini tak lagi begitu. Ia lebih memilih untuk pergi sendiri daripada harus bertemu dengan cowok sialan itu.

Seperti yang terjadi pada tengah hari ini. Luna memutuskan untuk pergi ke lapangan bersama Zihao, walau mereka harus pergi ke tempat lain dulu untuk menjemput Mina karena paksaan dari Miguel. Deka tak ikut pergi karena harus menemani Bundanya belanja, sementara Yuju ditugaskan untuk mengasuh sang adik. Kalau Jaka sih.. Luna tak peduli!

Mereka juga sempat janjian dengan Sabin dan Ejay yang ternyata sudah berada di sana lebih dulu.

"Tumben Mi lo ikut gabung?" tanya Zihao ketika baru sampai dan melihat ada Miya yang duduk bersama Sabin dan seorang gadis lainnya di anak tangga.

Miya yang sedang mengobrol dengan Nicha, sahabatnya dari kelas sebelah itu sontak saja menoleh. "Iya nih, bosen di rumah gak ada orang."

"Lah, si Heena kemana emang?" tanya Luna menyebutkan adik Miya yang terpaut usia tiga tahun darinya.

"Biasalah, abis menang lomba fashion show langsung berangkat ke Bandung," sungut Miya tak peduli.

"Buset, ngapain ke Bandung? Nonton Persib tanding lawan Persija?" celetuk Miguel sembari melangkah menghampiri Ejay dan Wino yang sedang bermain basket.

Miya menghela napas kasar. "Adik gue mah emang gitu. Minta apa aja harus langsung dikasih, kalo enggak bisa mogok makan seharian."

"Sorry enggak bermaksud, tapi adik lo semanja itu ya?" tanya Mina kini mendudukkan diri di sebelah Miya.

"Manja banget! Saking manjanya apa aja barang milik Miya, kalau dia suka ya harus jadi milik dia. Gak boleh enggak," sahut Nicha yang membuat Miya langsung mencubit pinggangnya agar diam saja.

"Serius? Parah banget sih," ujar Sabin.

"Enggak kok, dia gak seburuk itu," sergah Miya. "Ya adik gue emang manja dan kadang susah dikendaliin. Tapi wajar sih karena orang tua gue juga jarang ada di rumah. Gue, kak Abel, sama Heena dibesarin babysitter. Makanya adik gue jadi kayak gitu, karena dia kurang perhatian dari orang tua sejak kecil."

Luna dan Sabin kompak mengangguk dengan mulut membentuk huruf o. Sementara itu Mina terdiam, raut wajahnya perlahan berubah kendur. Mendengar cerita Miya barusan membuat dirinya teringat akan nasibnya yang tak jauh berbeda.

Mina memang dibesarkan oleh kedua orang tuanya sendiri. Ia mendapat cukup banyak perhatian dan kasih sayang sejak kecil. Namun seiring berjalannya waktu, kasih sayang itu kian memudar. Apalagi ketika bisnis sang Ayah yang semakin besar, kedua orangtuanya jadi tak punya banyak waktu bersamanya lagi seperti dulu. Ditambah saat ia menginjak usia sepuluh tahun, sang Ibu didiagnosa menderita penyakit yang menyebabkan dirinya tak bisa lagi mempunyai anak.

Sejak saat itu, orangtuanya menaruh harapan besar di kedua pundaknya. Mina sudah dituntut sejak kecil untuk bisa menjadi penerus bisnis ayahnya kelak.

"Eh, itu yang lagi main sama Zihao siapa dah?" tanya Luna membuat Mina tersadar dari lamunannya.

quarantine, 97 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang