49. Happiness

788 103 13
                                    

PAGI ini terasa lain dari biasanya. Entah karena sudah tidak ada lagi guru yang mengirimkan tugas, atau mungkin ada sesuatu yang jauh lebih besar baru saja terjadi pada kehidupan seorang Yunatta Juwi Cecilia.

Suasana dapur yang agak sedikit berbeda membuat Yuju sedikit tak terbiasa. Gadis itu melangkah ke meja makan sembari memandangi orang-orang di sana. Sang Mama sibuk mempersiapkan makanan, juga Papanya yang tengah menyeruput secangkir kopi. Ditambah sosok bocah laki-laki yang baru menginjak usia lima tahun itu sedang memotong-motong roti tawar sambil asik bernyanyi dengan suara pelan.

Wow... lihatlah keluarga cemara ini.

Yuju bahkan tak tahu kapan terakhir kali ia bisa merasakan atmosfer seperti ini. Karena biasanya pagi-pagi begini Papa sudah pergi ke tempat kerja dan selalu sarapan di luar. Mamanya pun jarang memasak karena terlalu sibuk bersama teman-teman sosialitanya. Membuat Yuju mau tak mau harus membiasakan diri memasak untuk dirinya sendiri. Kadang ada sang adik atau Luna yang sengaja ia ajak sarapan bersama agar tak terlalu merasa sendirian.

Mungkin beberapa orang berpikir Yuju adalah sosok mandiri yang tak pernah ingin menerima bantuan. Namun tetap saja, mau bagaimana pun juga ia tetap manusia biasa yang pasti suatu saat nanti akan membutuhkan bantuan orang lain.

Karena sejak kecil Yuju sudah terbiasa melakukan semuanya sendiri. Mungkin hal itu juga yang membuat dirinya sekarang menjadi sosok yang tak pernah bergantung pada orang lain.

"Tumben Papa belum berangkat jam segini?" tanya Yuju sambil menuangkan air ke dalam gelas.

"Sekali-kali sarapan di rumah gak ada salahnya, kan? Lagipula sekarang ada masakan Mama yang udah lama gak Papa icipin," ujar pria itu tersenyum.

Yuju menoleh pada Mama yang tengah mengambilkan nasi ke piringnya. "Mama juga tumben masak?" celetuknya tanpa sadar.

"Ya memangnya kenapa?" tanya wanita itu sedikit tersinggung. "Ini kan udah jadi bagian dari kewajiban Mama buat ngurusin keluarga."

Yuju tersedak minumnya. Ini hari apa sih? Kenapa semua orang mendadak menjadi aneh seperti ini?

"Kamu tuh kenapa sih? Kayak kaget banget denger Mama ngomong barusan," ucap Mama mendelik.

"Aneh aja sih, dari mulai Mama yang tiba-tiba masak. Sampe Papa yang pengen sarapan di rumah," kata Yuju.

Pria berkacamata itu tersenyum. "Papa cuma pengen Mama kamu tuh berhenti melakukan banyak kegiatan dan mulai fokus untuk di rumah aja."

"Kenapa?"

Mama berdeham pelan, mencoba menyibukkan diri menyendok daging ke dalam piring si anak sulung. Walau diam-diam wanita itu saling tatap dengan lelaki yang duduk di arah jam tiga. Membuat Yuju yang menyadari hal itu seketika mengernyit heran.

"Kalian kenapa sih? Kok kayak lagi kode-kodean?" tanya Yuju yang memang sudah menaruh curiga sejak tadi.

"Kak," panggil Mama, tersenyum manis seraya meletakkan piring nasi ke hadapan Yuju. "Menurut kakak, Mama tuh masih muda gak sih?"

"Ha?" Yuju mengerutkan kening. "Ya muda lah. Mama aja masih 35 tahun."

"34," koreksi Papa.

Mama kembali tersenyum seolah mengabaikan ucapan dua orang itu. "Jadi, kalau Mama--"

"Bentar!" sela Yuju. Mendengar ucapan wanita itu entah kenapa membuat dirinya langsung memikirkan satu hal. Ia merasa deja vu akan peristiwa enam tahun lalu.

Mama dan Papa kembali bertatapan. Sang adik masih sibuk dengan kegiatannya. Dan si anak sulung kini meneguk ludah.

Gadis yang kini memakai kaos oblong itu menatap kedua orang tuanya bergantian. "Jangan bilang..." Ia menggantung ucapannya.

quarantine, 97 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang