39. Curhatan

681 106 12
                                    

TIDAK pernah sedikitpun terbesit di dalam pikiran seorang Bama Chandra Ardana bahwa hari ini akan benar-benar terjadi. Setelah belakangan ini ia menjadi bulan-bulanan sosial media perihal kejadian di club waktu itu, sekarang Ayahnya yang berwatak keras itu baru saja memarahinya habis-habisan.

Sejujurnya Bama sendiri sama sekali tak kaget, bahkan ia sudah memprediksi hal ini sejak awal. Berita itu benar-benar sudah sampai ke pihak sekolah. Keluarga Bama yang selama ini berusaha menutupi masalah itu kini sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Bahkan lebih parahnya, hari ini sekolah memberikan surat peringatan sekaligus panggilan untuk orang tua.

Dan malamnya, Bama sukses mendapat satu tamparan keras di pipinya karena hal itu.

"Sialan, napa genre hidup gue gini amat sih," ucapnya seraya berdecih tak habis pikir.

Bama mengecek jam dindingnya yang menunjukan pukul sembilan malam. Cowok itu merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong namun tetap dengan pikiran yang berantakan.

Ia diam beberapa saat, sebelum kemudian menghembuskan napas panjang dan meraih ponselnya yang berada tak jauh di dekatnya. Cowok itu berniat untuk menghubungi seseorang, walau agak ragu namun ia tetap berhasil menelpon orang itu.

Tak menunggu waktu lama sampai panggilan itu diangkat, membuat Bama langsung bernapas lega saat itu juga.

"Je..," rengeknya kemudian.

Terhitung sudah dua puluh menit Jian mendengarkan curhatan panjang lebar Sabin perihal crushnya. Malam ini, gadis itu berniat akan menginap di rumah Jian.

"Jadi, hubungannya sama gue apa?" tanya Jian mencoba lebih peduli, pandangannya tetap fokus pada layar laptopnya menonton serial Netflix.

"Ya gak ada sih, gue pengen curhat aja." Sabin mendengus, berguling-guling di kasur samping Jian yang masih tetap mengacuhkannya. "Lagian siapa yang gak kesel sih, yang deket duluan siapa yang ditolongin siapa."

Ya, Sabin masih sakit hati dengan kejadian di lapangan kemarin. Awalnya gadis itu tak ingin membahasnya lagi, namun hatinya menolak dan memilih untuk meluapkan semua kerisauannya ini pada sahabatnya. Kebetulan Jian satu-satunya yang tahu tentang hal ini. Karena semenjak awal pertemuannya dengan Wino di hari itu, Jian yang memiliki kepekaan tingkat tinggi berhasil menebak perasaan temannya. Membuat Sabin akhirnya tak bisa mengelak lagi.

"Emang sedekat apasih lo sama si Wino?" tanya Jian.

"Lumayan sih, selama ini gue sering chatingan sama dia. Kalo gak bahas vlog paling bahas hal random lainnya. Pokoknya gue udah ngerasa gue tuh makin deket sama dia semenjak gue dianterin pulang hari itu," ucap Sabin, Jian mengangguk-angguk saja mendengarkan.

"Kalau kata gue sih, lo hati-hati deh. Pikiran cowok tuh gak ada yang tau, mungkin aja si Wino--"

"Apaan sih?! Gak usah ngomong gak jelas gitu deh," potong Sabin membuat Jian terkejut.

"Padahal gue belum selesai ngomong loh?"

"Gue udah tau arah pembicaraan lo ini bakal kemana," sungut Sabin.

Jian tertawa. "Apaan emang?"

"Lo mau ngomong tu cowok demen sama Luna, kan? Iya gue tau Luna lebih cantik dari gue tapi please kali ini biarin gue berharap." Sabin merubah posisi menjadi duduk menghadap Jian, kemudian gadis itu menelungkupkan kedua tangannya seraya membungkuk.

Jian seketika tertawa melihat aksi nyeleneh gadis itu. "Loh, napa malah insecure gini ih? Maksud gue tuh ya takutnya si Wino emang cuma refleks nolongin Luna aja tanpa naruh perasaan apapun. Biar gue tebak, posisi Luna deket sama cowok itu, kan?" tanyanya memastikan.

quarantine, 97 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang