pemakaman papi.

111 18 3
                                    

Dipta, Elandra, Narra dan Tasya kini sudah sampai di sebuah rumah besar bercat putih. Ada banyak orang berdatangan, tangis kepedihan juga kerap terdengar alun-alun disana, bahkan tidak sedikit karangan bunga ucapan bela sungkawa disana dan juga banyak mobil berjejeran di jalan depan rumah.

Mereka memasuki rumah tersebut, rumah Keyvarra. Mencari keberadaan dimana Key berada, ternyata ia terduduk di depan jenazah sang ayah yang masih terbaring di tengah rumah dengan wajah yang pucat pasi, mata dan juga wajah yang sembab, termenung memandang kosong ke arah tubuh sang ayah yang sudah tak bernyawa itu. Mereka mendekati Key dengan hati-hati dan duduk di samping kanan dan kiri Key.

Narra menepuk bahu Key pelan membuat Key tersadar dari lamunannya. Tersadar di sampingnya ada Narra, Key langsung memeluk erat tubuh Narra dari samping. Menangis tanpa suara merasakan kembali sakit yang tadi ia rasakan. Narra dengan sigap merangkul Key dan menepuk-nepuk punggungnya perlahan, begitupun dengan Tasya.

"Key," panggil Narra dengan suara pelan bahkan terdengar seperti bisikan karena mati-matian menahan tangisnya.

Key menggelengkan kepalanya, "Enggak Ra, bilang kalau ini cuma mimpi."

"Lo harus ikhlas Key, ya?" Ucap Tasya.

Lagi-lagi Key menggelengkan kepalanya. Key melepaskan pelukannya dari Narra, kembali terduduk lunglai menatap kosong wajah pucat pasi jenazah Ayahnya.

"Susah."

Narra dan kawan-kawan terus menenangkan Key dikala jasad sang ayah di pindahkan ke masjid untuk di shalatkan, Dipta dan Elandra masuk ke masjid bersama bapak-bapak yang juga akan ikut menyolatkan jenazah tersebut. Setelah selesai di shalat kan, jenazah ayah Key pun dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya menggunakan ambulans. Key dan ibunya ikut bersama ambulans dan Narra serta kawan-kawannya ikut mengendarai kendaraan masing-masing.

Sesampainya di tempat pemakaman, Jenazah dibawa menggunakan keranda menuju liang lahat nya. Key tak lagi kuasa menahan air matanya dikala melihat sang ayah sudah dimasukkan kedalam liang lahat, bahkan sang ibu pun sudah jatuh pingsan akibat tak kuasa melihat sang suami pergi meninggalkannya untuk selamanya, entah ini keberapa kalinya sang ibu tumbang.

"Papi . ." Key memanggil sang ayah yang kini tengah di kubur dengan tanah sedikit demi sedikit.

"Pi . . Enggak Pi enggak! Jangan, jangan!" Tangis Key semakin histeris, bahkan Narra dan Dipta pun sampai merangkul Key dan menahannya.

"PAPII HIKS RA PAPII! ENGGAK, ENGGAK! JANGAN!"

"Key! Key udah key, Lo harus ikhlas, ya? oke?" Ucap Narra sambil memeluk Key erat.

"Ra papi Ra, ini mimpi kan Ra?"

"Enggak Key, ini gak mimpi."

Key menggelengkan kepalanya cepat, "GAK! GAK MUNGKIN!" Key mulai memberontak dalam pelukan Narra.

Dipta dan Elandra pun menghampiri Key dan membantu Narra untuk membawa Key dari sana guna menenangkan Key. Mereka membawa Key ke salah satu bangku panjang yang ada di sana. Mendudukkan key disana dan menenangkannya.

"Udah ya Key? Tuhan lebih sayang sama papi Lo. Percaya deh, papi Lo pasti tenang disana kalau Lo bisa ikhlasin kepergiannya dengan lapang dada," ucap Elandra.

Dipta mengelus pundak Key dengan lembut, "iya, udah ya? Ada kita, dan ingat ada ibu Lo yang perlu dukungan dari anaknya."

"Iya Key, Lo harus kuat, jangan gini. Kasian Papi Lo disana, ya? Udah jangan nangis lagi." Narra memberi semangat.

Key menganggukkan kepalanya dan menatap ketiga temannya dengan mata yang sangat sembab, "makasih ya? Udah ada buat gue."

Mereka menganggukkan kepalanya sebagai respon, "udah ya? Yuk kita pulang," ucap Narra.

The Rainy Night || End.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang