.
.
.
.
.Ia baru saja menginjakkan kakinya di halaman rumah, namun tamparan keras dari orang yang sangat dicintainya itu membuatnya terpaku. Lagi dan lagi, pipi tirusnya menjadi sasaran empuk dari telapak tangan sang ibu. Entah apalagi alasan beliau meninggalkan jejak tapak tangannya di pipi tirusnya itu.
"Bun?" lirihnya. Wanita yang ia panggil dengan sebutan 'bunda' itu menghiraukan panggilannya. Bahkan tatapan mata wanita itu sangat tajam, seperti ujung pisau yang siap digunakan untuk memotong daging.
"Dasar anak tidak berguna! Ulah apalagi yang kamu buat, hah?!" wanita itu berseru dengan marah.
Remaja bernama Jiel ini menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap mata sang bunda walau dalam sekejap.
Hanum, bunda dari Jiel itu mengangkat kasar dagu sang anak. Ia mencengkeram rahang Jiel, bahkan sepertinya wanita itu tak sadar jika ujung kukunya menggores kulit Jiel, hingga membuat remaja itu meringis pelan.
"Saya mendapat laporan dari sekolah, kalau kamu memukuli anak donatur disana. Kamu mau dikeluarin, hah?!" sentak Hanum di akhir kalimat.
Jiel mematung. Bukan, bukan seperti itu. Jiel tidak memukul anak donatur itu. Kalau bukan dia yang memulai, Jiel tak akan membalasnya. Bahkan balasan yang diberikan Jiel sepertinya tidak ada rasanya untuk dia.
"Enggak bunda, Jiel gak pukul dia. Dia yang mulai duluan," sanggah Jiel membela dirinya sendiri.
Hanum yang keras kepala itu semakin menatap tajam Jiel, "gak usah ngelak! Hari ini, kamu gak dapet makan siang dan makan malam!"
Hanum melepas cengkeramannya. Ia meninggalkan Jiel sendirian di teras. Jiel meneteskan air matanya. Tidak makan siang? Tidak makan malam? Sepertinya Jiel sudah terbiasa akan hal itu. Remaja itu menghapus pelan jejak air matanya. Ia tersenyum, berusaha menguatkan hatinya yang terasa begitu sakit.
Dalam langkahnya menuju ke kamar Jiel, remaja itu terus tersenyum. Sembari merasakan kesepian yang hinggap di relung hatinya. Ia ingin sekali mengeluh, menangis, dan berteriak sekencang-kencangnya. Ia ingin menyudahi semuanya. Namun, nyalinya tidak sebesar itu. Jiel tidak mungkin melawan orang tuanya yang sangat ia cintai, walau Jiel tau, kedua orang tuanya justru membenci dirinya, entah apa alasannya.
Jiel membuka pintu kamarnya dengan pelan. Ia takut mengganggu Hanum yang mungkin tengah beristirahat. Remaja lelaki itu meletakkan tasnya di meja belajar. Ia menuju ke ranjangnya setelah itu. Tangannya merogoh masuk ke kolong tempat tidur, menarik sebuah kotak berwarna putih dengan tanda tambah berwarna merah. Kotak P3K.
"Hari ini bunda marah lagi. Jiel terlalu nakal ya?" monolog remaja itu sembari membersihkan luka di wajahnya akibat goresan dari kuku Hanum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Jiel
Teen FictionAjiel Abidzar, remaja lelaki berusia 15 tahun yang hidup dalam kesengsaraan. Dia memang memiliki orang tua yang lengkap, namun hidupnya tak seperti kebanyakan remaja di luar sana. Mungkin orang-orang berpikir, bahwa memiliki orang tua yang lengkap...