.
.
.
.
.Segerombolan polisi yang datang secara tiba-tiba itu mengejutkan semua orang yang ada disana. Sekitar 50 orang polisi dikerahkan untuk mengepung area tersebut. Bahkan beberapa polisi sampai masuk ke dalam rumah, memeriksa rumah itu apakah ada bom yang sengaja ditinggalkan oleh orang-orang berkepala botak tersebut.
Jiel tersenyum lega. Ia melirik seseorang yang bersembunyi dibalik semak-semak. Ia jelas tau siapa orang itu. Jiel sangat berterima kasih untuk bantuan yang datang malam hari ini. Sangat tepat waktu! Bahkan diluar dari perkiraannya.
Namun sayangnya, suara riuh teriakan itu membuat Jiel mengernyit bingung. Entah sejak kapan para polisi sudah mengerubungi dirinya dan si ketua kelompok itu.
Ketua kelompok?!
Bagaimana bisa pria itu menggenggam dua buah pisau sekarang?!
Dan, bagaimana bisa anak buahnya sudah tertangkap oleh polisi dalam sekejap mata?
"Jiel! Pergi dari situ, biar polisi yang urus orang gak waras itu!" teriak Jiedan dengan wajah yang bercucuran air mata. Ia panik bukan main. Ketajaman pisau itu bahkan terlihat dari jarak sekitar dua meter. Sangat mengkilat.
"Jiel! Please, abang udah tau semuanya sekarang. Kamu sama Jiedan adik abang, iya kan?! Jadi abang mohon banget sama kamu, jauhi orang gila itu!" teriak Naren kesetanan.
Bagaimana bisa Naren tau secepat ini?! Jiel bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah Jiedan??
Tidak! Bukan Jiedan yang memberitahu Naren. Semalam, saat Jevan dan Marco membicarakan soal Jiel, tanpa mereka sadari, Naren sudah tergabung dalam percakapan itu. Naren sangat kecewa, mengapa ia terlambat mengetahuinya?
Adiknya. Adiknya sudah bersama dengan dirinya. Ia tak bisa membendung rasa harunya. Bukannya marah pada Jevan yang telah tau terlebih dahulu, ia justru berterima kasih. Karena jika Jevan tidak memberitahu Marco, maka ia juga tidak akan tahu.
"Jatuhkan pisau anda, maka kami akan membawa anda tanpa luka!" ancam salah satu polisi. Tangannya sudah bersiap dengan senapan laras panjang.
Beberapa polisi mulai bergerak mendekati Jiel dan orang itu. Namun ternyata, mereka kalah cepat, orang itu sudah menyandera Jiel. Mengunci pergerakan Jiel dari belakang. Kedua pisaunya ia genggam dengan tangan kanan.
"Maju selangkah lagi, gue gak akan jamin bocah ini bakal selamat,"
Para polisi terpaksa diam. Orang itu tertawa sarkas. Jiel masih memberontak, berusaha melepaskan diri. Namun tenaganya kalah besar dengan orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Jiel
Teen FictionAjiel Abidzar, remaja lelaki berusia 15 tahun yang hidup dalam kesengsaraan. Dia memang memiliki orang tua yang lengkap, namun hidupnya tak seperti kebanyakan remaja di luar sana. Mungkin orang-orang berpikir, bahwa memiliki orang tua yang lengkap...