Untuk Jiel • 06

709 68 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.

Jiel sudah diperbolehkan untuk pulang. Tentunya setelah ia membujuk enam orang itu dengan berbagai hal.

Kini remaja itu berada di depan rumahnya, ditemani Marco dan lima ekornya. Jiel takut untuk masuk. Apalagi beberapa hari yang lalu ia tak sengaja mendengar ucapan ibunya di telepon.

Remaja itu menggenggam erat telapak tangan Naren. Keringat dingin mengucur deras. Ia benar-benar takut. Tubuhnya masih sedikit sakit dan terlampau lemah untuk menerima semua siksaan dari ayah dan bundanya.

"Ini gak mau masuk?" suara Chandra memecah keheningan yang terjadi.

"Takut," cicit Jiel.

"Kenapa harus takut? Kan ada kita disini," ucap Jevan.

"Betul betul betul! Apalagi ada Jevan," Haikal menyengir.

"Kok gue?!" protes Jevan.

"Badan lo berotot. Kalo ada apa-apa tinggal lo pukul, selesai," tukas Rendi membuat Jevan diam membisu. Diam-diam ia melihat bentuk badannya. Benar juga ternyata. Ia jadi berpikir, bagaimana bisa tubuhnya terbentuk dengan sempurna?

"Gak usah takut, Ji. Kita bakal temenin kamu sampai kamu masuk kamar," ujar Marco.

Sedikit tidak sopan memang, tapi mau bagaimana lagi? Mereka juga takut jika Jiel mendapat siksaan lagi. Mereka tidak tega melihat itu.

"Udah yuk, masuk!" ajak Naren. Ia berganti menggandeng lengan Jiel. Namun Jiel justru bersembunyi dibalik badan Naren.

Marco mengetuk pintu. Hingga tiga kali ia melakukannya, barulah pintu itu dibuka. Sepasang suami istri yang merupakan orang tua Jiel tersenyum. Hanya formalitas.

Saat tatapan mereka bertemu dengan manik mata Jiel, mereka menatap Jiel dengan marah. Rasanya geram sekali melihat Jiel kembali ke rumah. Apalagi ditemani enam remaja tampan yang jelas tidak mereka ketahui.

"Duh...Jiel, anak bunda. Kamu dari mana saja nak?" wanita paruh baya itu segera menarik Jiel dari genggaman Naren. Mereka terkejut melihat perubahan sikap ibunda Jiel.

"Bun...da?" cicit Jiel. Ia meringis sakit saat punggungnya dicubit keras oleh sang bunda. Ia yakin, setelah ini punggungnya akan membiru.

"Bunda, sakit," bisik Jiel.

"Diem kamu! Gak tau diri!" sentak ayahnya pelan. Ia tak mau enam remaja di depannya itu mendengar apa yang baru saja ia katakan.

Untuk JielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang