.
.
.
.
.Erangan kesakitan serta isak tangis kecil itu memenuhi sebuah ruangan gelap yang terdapat di salah satu rumah. Ruangan itu nampak tidak terurus. Lantainya yang begitu kotor, pecahan kaca dimana-mana, kardus serta barang lama yang berserakan. Sepertinya ruangan ini lebih cocok disebut sebagai gudang.
Seorang remaja lelaki yang sejak dua jam lalu duduk memeluk lututnya itu menghentikan isakannya. Ia menghapus air matanya dengan pelan agar tidak mengenai luka di pipinya. Ia tersenyum kecil. Tangannya lantas meraih kain putih yang awalnya digunakan untuk menutupi barang-barang yang sudah tak terpakai itu. Ia mengusap kain itu ke pipinya. Bercak darah pun terlihat di permukaan kain berwarna putih tersebut.
"Gak papa, ini salah Jiel. Makannya Ayah sama Bunda marah," tuturnya pelan. Suaranya yang terdengar berat dan halus itu seolah menenangkan dan juga menyesakkan.
"Besok Jiel gak akan ulangi lagi kok. Ini sakit," rintihnya lagi.
Remaja itu berusaha berdiri. Ia harus segera membersihkan dirinya dan memasak makan malam untuk orang tuanya, sebelum hukuman lain menanti dirinya. Lagipula, setelah ia memasak makan malam, ia juga harus kembali bekerja di cafe. Sebenarnya ini sudah hampir terlambat, dan sepertinya nanti Jiel akan sangat terlambat.
Jiel segera pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri. Usai itu, ia menuju ke dapur untuk memasak. Selama memasak, Jiel selalu memikirkan perkataan Bundanya saat tadi di gudang itu.
"Kalau bukan karena dia, saya gak akan mau punya anak seperti kamu! Pembunuh gak pantas hidup!"
Jiel terpaku sejenak. Pembunuh? Rasanya, ia seperti seorang buronan yang selalu dicari dan disiksa usai ditemukan. Lagipula, siapakah yang Jiel bunuh? Padahal, seumur hidupnya, Jiel tak pernah membunuh orang. Lantas mengapa mereka berdua menuduhnya sebagai pembunuh?
Jiel tersadar saat sendok sayur yang ia gunakan beradu pada panci. Ia segera mematikan api kompor dan memindahkan masakannya ke mangkuk. Ia cepat-cepat melepas celemek warna hijau itu dan berlari menuju kamarnya. Ia sudah sangat terlambat untuk bekerja.
🐹🐹🐹
Malam ini Cafe Dream penuh dengan beberapa anak remaja. Ada yang berpasangan, berkumpul bersama teman, dan masih banyak lagi. Seperti Marco dan kelima sahabatnya ini. Mereka datang lagi ke cafe guna menemui Jiel. Namun sudah hampir 2 jam mereka menunggu, Jiel belum juga menunjukkan batang hidungnya.
"Hah..." Haikal menghela napas lelah. Kesekian kalinya ia mengecek jam tangan yang terpasang apik di pergelangan tangan kirinya.
"Jiel kemana sih? Bukannya dia gak biasa telat?" tanya Jevan. Ia tau itu dari Zoya. Zoya sudah membeberkan beberapa fakta mengenai Jiel. Jadilah mereka mengetahui beberapa tentang anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Jiel
Teen FictionAjiel Abidzar, remaja lelaki berusia 15 tahun yang hidup dalam kesengsaraan. Dia memang memiliki orang tua yang lengkap, namun hidupnya tak seperti kebanyakan remaja di luar sana. Mungkin orang-orang berpikir, bahwa memiliki orang tua yang lengkap...