Untuk Jiel • 08

609 62 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.

Tiga hari telah berlalu dengan begitu cepat. Sampai-sampai Naren lupa bahwa hari ini papanya akan pulang. Entah mengapa ia bisa melupakan hal itu.

Kini, Naren dan Jiel duduk bersebelahan di sofa. Dengan Jiel yang terus menunduk dan memainkan jari-jarinya. Suasana seperti ini membuatnya tertekan. Ia tidak nyaman. Namun ia juga tidak berani mengungkapkan.

"Coba jelasin ke papa, apa alasan kamu bawa dia ke rumah ini?" seorang pria paruh baya yang merupakan ayah Naren bertanya dengan tegas. Di sisi kanannya sudah ada Mama Ara yang berusaha membuat suaminya tetap tenang. Karena Mama Ara juga memikirkan kondisi mental Jiel sekarang.

"Naren bakal jelasin semuanya. Tapi ga disini," balas Naren pelan. Remaja itu memberanikan diri untuk menatap mata sang papa.

Pria itu berdiri, "oke, kalau gitu, papa tunggu di ruang kerja,"

Setelah pria itu pergi, Jiel segera menghirup udara sebanyak yang ia bisa. Sejak tadi ia merasakan sesak. Bahkan ia tidak sadar jika ia menggigit bibirnya untuk mengalihkan rasa sakit.

"Ya ampun, Jiel!" panik Mama Ara.

Wanita itu duduk di dekat Jiel sekarang. Membersihkan noda darah pada bibir remaja itu. Ia mengelus pelan pucuk kepala Jiel.

"Maafin papanya abang ya, nak? Nanti biar abang Naren yang jelasin semuanya, okey? Jiel gak perlu takut lagi. Sekarang, mending Jiel istirahat aja di kamar. Mau mama antar?" Jiel menggeleng pelan.

"Ya udah, kalo gitu biar kamu bareng aja sama bang Naren,"

Naren mengangguk setuju, "ayo Ji!"

Keduanya segera naik ke lantai atas. Ketika Jiel berbelok untuk masuk ke kamarnya, maka Naren tetap berjalan lurus, menuju ruang kerja ayahnya. Jujur saja, ia takut sekarang. Ia takut ayahnya tidak menyetujui kehadiran Jiel di rumah ini.

Naren mengetuk pintu ruang kerja ayahnya. Ia menanti suara ayahnya dengan perasaan yang gugup. Tak lama, seruan perintah untuk masuk terdengar. Naren membuka pintu itu dengan takut.

"Papa," cicit Naren.

Pria paruh baya yang memiliki nama Yazar itu tersenyum kecil. Putranya masih sama seperti dulu.

"Sini, nak!"

Naren menghampiri ayahnya. Ia duduk berhadapan dengan sang ayah. Dengan kepala yang tertunduk seraya menanti untaian kalimat yang akan dikeluarkan oleh ayahnya.

Untuk JielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang