.
.
.
.
.Matahari mulai menampakkan diri. Mulai melakukan tugasnya dengan menerangi bumi dan menemani pagi. Jiel yang sudah siap dengan seragamnya itu lantas turun ke bawah dan menuju meja makan. Ia berniat untuk sarapan bersama orang tuanya.
"Pagi Ayah, Bunda!" sapa Jiel bersemangat. Ia meletakkan tasnya di kursi kosong, lalu duduk di kursi sebelahnya.
"Ngapain kamu duduk disitu?!" tanya Dika keras. Jiel menatap Dika dengan bingung. Memang apa salahnya?
"Jiel kan mau ikut sarapan, Yah," jawab Jiel membuat Dika mendengus tak suka.
"Gak ada yang suruh kamu untuk sarapan disini!" ketus Dika membuat dada Jiel terasa sesak. Namun remaja itu masih kuat untuk tersenyum.
"Jiel! Cepat masak sarapan sekarang!" teriak Hanum seraya mendekati kedua lelaki di ruang makan itu.
"Kenapa Jiel, Bunda?" tanya Jiel pelan.
"Ya kenapa?! Kalau kamu masih mau tinggal disini, cepet masakin sarapan!" sahut Dika tak santai.
"Tapi kan, nanti Jiel bisa terlambat,"
"Memang saya peduli?! Cepat buat sarapan!" perintah Hanum lagi.
Jiel menghela napasnya pelan. Kalau sudah begini, ia tak dapat membantah lagi. Jiel ingin sekali membantah perintah kedua orang tuanya walau sekali. Namun, ia tidak ingin mendapat lebih banyak dosa dan dikatai anak durhaka. Jiel tidak mau.
Usai membuat sarapan, Jiel kembali duduk di kursi semula. Namun tatapan Hanum dan Dika yang dilayangkan padanya membuat Jiel merasa bingung.
"Ngapain kamu disini? Merusak pemandangan aja!" ketus Hanum.
"Jiel mau ikut sarapan," jawab Jiel.
"Memang saya bolehin kamu untuk sarapan?!" Jiel terdiam begitu Dika angkat suara. Tangan Jiel yang semula memegang sendok dan garpu lantas meletakkan dua benda tersebut.
"Kenapa Jiel gak boleh sarapan?" tanya Jiel penasaran. Berulang kali dirinya tidak diijinkan untuk sarapan bersama mereka. Berulangkali pula Jiel mempertanyakan hal yang sama pada mereka, namun keduanya sama sekali tidak menjawab atau bahkan mempedulikan pertanyaan dari Jiel.
Melihat tak ada jawaban yang akan keluar dari bibir orang tuanya, Jiel lantas mengukir senyum tipisnya. Remaja itu meraih tasnya.
"Ya udah, Jiel berangkat ya. Ayah sama Bunda baik-baik di rumah, nanti Jiel bakal pulang cepet kok," celoteh remaja itu. Ia berbicara seolah tak ada apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Jiel
Teen FictionAjiel Abidzar, remaja lelaki berusia 15 tahun yang hidup dalam kesengsaraan. Dia memang memiliki orang tua yang lengkap, namun hidupnya tak seperti kebanyakan remaja di luar sana. Mungkin orang-orang berpikir, bahwa memiliki orang tua yang lengkap...