Untuk Jiel • 09

616 60 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.

Malam ini Dreamies betulan berkumpul di markas. Kali ini tanpa Jiel. Biarlah anak itu beristirahat di rumah Naren.

Sesuai apa yang dikatakan Naren dan Haikal tadi siang, mereka akan membahas tentang surat yang didapat oleh Haikal. Suasananya pun mendukung. Hawa yang sedikit mencekam juga menambah kesan seram untuk malam ini. Terlebih lokasi markas mereka adalah di pinggir hutan. Rendi sedikit menyesal telah mengusulkan lokasi markas mereka.

"Jadi, mana suratnya?" tanya Marco setelah sekian lama mereka hanya diam. Ia sudah cukup lelah dengan Haikal yang justru sibuk bermain game.

"Nih," Haikal menyodorkan amplop hitam kepada Marco.

Sontak hal tersebut membuat mereka merapatkan diri. Membentuk lingkaran dengan ruang tengah yang tak terlalu besar. Mereka berdempetan.

"Gila! Kayanya dia mau main-main sama kita," ujar Marco emosi. Ia melempar surat tersebut ke lantai.

Marco panik. Bisa jadi ia dan keenam adiknya dalam bahaya. Ia tak mau hal itu terjadi. Ia harus lebih waspada mulai sekarang.

"Tapi Marco, disini dia kaya ngasih pesan ke kita buat hati-hati. Kayanya orang ini berpengaruh banget ya? Terus, dia kaya tau semua apa yang lagi kita selidiki," Jevan mengeluarkan suara. Lelaki itu mencermati betul-betul rentetan kata di atas kertas putih.

Jevan menatap teman-temannya. Entah mengapa ia jadi curiga, jika surat yang diberikan ada kaitannya juga dengan salah satu di antara mereka.

"Gue agak curiga sama si penulis surat," lanjut Jevan.

"Curiga gimana?" tanya Chandra.

Jevan mengendikkan bahu, "orang-orang jaman sekarang itu sulit dipercaya, Chan. Kita harus lebih waspada, apalagi kita mulai masuk di lingkungan baru,"

"Entah kenapa gue tiba-tiba curiga sama Jiel," ceplos Naren.

Seluruh pasang mata menatap Naren penuh tanya. Mereka menjadi heran tatkala Naren membuka ponselnya.

"Kalian harus lihat ini,"

Dalam layar ponsel itu, video dari kamar Jiel jelas ditayangkan. Entah kapan Naren memasang kamera di hp Jiel.

"Gak ada yang aneh, Na. Gak usah mikir macem-macem sama Jiel. Gue yakin tuh anak gak bakal cari gara-gara," ucap Rendi.

Naren menghela napasnya. Sebenarnya apa yang dikatakan Rendi juga benar. Memang tak seharusnya ia menaruh curiga pada Jiel. Apalagi saat Naren mulai menganggap Jiel sebagai adik kandungnya.

Untuk JielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang