Untuk Jiel • 20

409 51 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.

Jiedan ditinggal sendirian di kamar Jiel. Kamar yang akan menjadi miliknya juga. Meskipun pada awalnya ia tak setuju untuk tinggal disini, namun jika dipikir-pikir, ia juga tak bisa seenaknya meminta Jiel pindah. Karena bagaimanapun juga, keluarga Naren dan teman-temannya itu yang lebih dulu menolong Jiel.

Jiedan hanya duduk di balkon sejak sarapan tadi usai. Ia tak berniat berpindah tempat. Bahkan sejak tadi remaja itu tidak menyentuh ponselnya.

Suara pintu kamar yang dibuka pun tak membuat dirinya terganggu. Ia masih asyik dengan lamunannya, tidak peduli dan tidak tau siapa yang datang tiba-tiba.

"Jiedan?" panggilnya lembut.

Jiedan tak membalas. Ia masih seperti tadi. Menatap ke arah luar dengan tatapan kosongnya. Juga dengan bibirnya yang sesekali bergumam.

"Jiedan?" panggilnya sedikit keras.

Jiedan tersadar. Ia mengerjap bingung, lalu menoleh ke sumber suara. Melihat ibu dari sahabat adiknya itu datang, Jiedan jadi gelagapan. Ia berdiri dengan cepat.

"Ada apa tante? Tante butuh sesuatu?" tanya Jiedan sopan.

Mama Ara nampak tersenyum hangat. Wanita itu melambaikan tangannya, memberi isyarat pada Jiedan untuk menghampiri dirinya. Ia sendiri duduk di kasur empuk yang digunakan si kembar untuk tidur. Mama Ara menepuk tempat di sebelahnya, meminta Jiedan untuk duduk dekat dengannya.

"Kenapa tante?" tanya Jiedan lagi.

Mama Ara menggeleng, "panggil mama dong. Biar sama kaya yang lain,"

Jiedan mengernyit, lantas ia menggeleng.

"Kenapa kok gak mau? Padahal tante seneng banget kalo Jiedan mau manggil mama,"

"Aku bukan siapa-siapa. Aku cuma orang baru, dan gak berhak panggil tante dengan sebutan mama," jelasnya secara gamblang.

Mama Ara terdiam sejenak. Hatinya sedikit tersentil mendengar ucapan Jiedan. Jiedan ini sebenarnya memiliki sifat yang sangat mirip dengan Jiel, yaitu polos. Ia akan berbicara sesuai dengan apa yang dia pikirkan. Bedanya, jika Jiel akan mencoba berpikir kembali, maka Jiedan tidak. Jiedan akan langsung mengutarakan pemikirannya, tanpa peduli lawan bicaranya.

Maklum, hidup sendirian tidak membuatnya memikirkan orang lain. Ia tidak mengerti caranya  memahami diri orang lain. Meskipun berkali-kali ia mendapat cacian akibat sifatnya yang satu itu. Namun, diluar itu semua, dia hanyalah bocah kesepian yang dipaksa menjadi dewasa untuk melanjutkan hidupnya.

Untuk JielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang