Untuk Jiel • 26

367 50 13
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.

Hari ini Naren pulang sendirian, tidak diantar oleh Jevan maupun Marco. Padahal biasanya Naren selalu pulang diantar oleh para sahabatnya. Namun kali ini tidak. Entah mengapa sikap Naren sedikit berbeda dari biasanya, dan itu jelas menimbulkan tanda tanya di kepala Dreamies.

Baru saja ia melangkahkan laki di pelataran rumah, sebuah kotak berukuran sedang yang ada di depan pintu rumahnya itu membuat ia bertanya-tanya. Ia menoleh, mencari sosok yang telah meletakkan kotak itu di depan rumahnya.

"Apaan nih? Santet atau bukan ya?" monolognya.

Meski dipenuhi rasa curiga, Naren tetap mengambil kotak itu. Sebelumnya, ia sudah memotret kotak tersebut dan mengirimkannya ke grup chat Dreamies. Ia sedikit beruntung karena ponsel Jiel tertinggal di rumahnya kala itu, dan ia menyimpannya di kamar.

Tujuhan Hidup

Anda
Ke rumah gue sini, gue butuh kalian

read.

Naren melangkahkan kakinya, masuk ke dalam rumah, dengan membawa kotak tersebut di tangannya.

"Mama," ucapnya pelan.

Mama Ara yang berada di ruang tengah lantas menoleh dengan senyum yang terpatri di bibirnya, "sini nak," panggilnya.

Dengan ragu, Naren tetap menghampiri sang ibu. Langkah kakinya memelan. Ia sedikit takut sekarang. Wajah sang ibu terlihat kacau, membuatnya sedikit enggan untuk sekedar menyapa.

"Sini sayang," Mama Ara menarik tangan Naren dengan lembut. Wanita itu memeluk anaknya yang mendadak kaku.

"Maafin mama, nak. Mama terlalu kalut waktu itu. Mama lupa, masih ada anak-anak mama yang lain, yang butuh dihibur juga. Maaf ya, Naren," tangis wanita itu kembali pecah.

Hati Naren tersentil, lidahnya menjadi kelu. Ia tak suka berada di posisi seperti ini. Ia takut jadi serba salah. Terlebih, sebenarnya Naren tak benar-benar merasa sedih.

"Ekhem," deheman kecil Naren membuat Mama Ara spontan melepas pelukannya.

Wanita itu mendadak canggung. Ia mengusap jejak air matanya. Masih dengan bibir yang melengkung ke atas, Mama Ara menggenggam tangan Naren.

"Maafin mama ya? Mama terlalu buta. Seharusnya mama tau, kalo Jiedan itu korban. Gak seharusnya mama bentak dia waktu itu. Mama jahat banget, iya kan?" Naren diam.

"Iya! Mama jahat. Mama cuma bisa lihat dari satu sisi aja," batin Naren berteriak keras.

"Iya," hanya itu yang bisa Naren ucapkan.

Untuk JielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang