Untuk Jiel • 04

790 71 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.
.
.

Waktu terus berlalu. Terhitung sudah 2 hari Jiel tidak berangkat ke sekolah. Ghina, selaku teman dekat Jiel di sekolah itu merasa khawatir juga bingung. Tidak biasanya Jiel absen 2 hari. Tanpa kabar pula. Bahkan Ghina yakin, wali kelas telah memberikan alpha di buku presensi milik Jiel.

Sementara itu, sang empunya nama, tak lain adalah Jiel. Remaja polos itu tengah berbaring di kasurnya. Ia masih terlelap. Bahkan suara alarm yang menggema di kamarnya itu tak membuat manusia yang satu ini bergerak dari tempat tidurnya.

Deringan alarm terus berbunyi. Sampai Jiel terusik dan memutuskan untuk bangun. Untung saja kedua orang tuanya tengah pergi berlibur. Iya, mereka memutuskan berlibur ke Bali dengan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, Jiel bisa sedikit bebas. Setidaknya, sampai bekas luka itu benar-benar hilang.

"Sssh...." Jiel mendesah kesakitan saat merasakan kepalanya yang terasa seperti dihantam batu besar. Ia memegangi kepalanya. Meremat rambutnya, berharap rasa pusing itu segera hilang.

Jiel bernapas lega saat dirasa pusing itu perlahan hilang. Ia bangkit perlahan. Jiel berdiri di depan kaca. Memperhatikan tubuhnya yang sudah lebih baik dari kemarin.

"Lukanya udah lumayan kering. Kayaknya kalo Jiel keluar rumah udah cukup aman," monolognya bahagia.

Dua hari lalu, setelah pulang dari kerja, Jiel merasakan bahwa tubuhnya benar-benar sakit. Ia tidak bisa kemana-mana. Badannya sulit untuk digerakkan. Bahkan untuk dia makan saja, ia tidak sanggup. Rasa sakitnya lebih mendominasi daripada rasa laparnya. Oleh sebab itu, Jiel memutuskan untuk istirahat penuh selama dua hari. Ditambah tanpa makan dan minum selama dua hari itu.

Jiel pergi ke dapur untuk mencari makanan. Untuk saat ini, ia masih belum bisa memasak. Badannya masih sedikit lemas. Ia hanya takut, jika sewaktu-waktu ia ceroboh, dan justru membahayakan dirinya sendiri.

"Disini gak ada bahan makanan sama sekali. Jiel sih, pake sakit segala. Jadi gak bisa ke pasar deh," gerutunya.

Ia meletakkan jari telunjuknya ke dagu, tingkah yang pasti terjadi saat anak itu tengah berpikir keras. Menggemaskan.

"Jiel ke cafe ajalah. Siapa tau disana ada sisa makanan. Sekalian kerja aja, hihi," pikirnya. Remaja itu segera bersiap-siap untuk pergi ke cafe.

Sementara itu, Marco dan rombongan krucil tiada akhlak itu tengah berkumpul di markas. Rumah yang sering mereka pakai saat ingin bermain ataupun sekedar berkumpul biasa.

"Gue denger dari Ghina, udah dua hari Jiel bolos sekolah," celetuk Haikal memecah keheningan. Kegiatan mereka terhenti. Mereka memusatkan pandangannya pada Haikal.

Untuk JielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang