35. Tinggal Bersama

1.6K 204 54
                                    

Prilly memijit kepalanya yang berdenyut sejak tadi pagi. Bagaimana tidak? Mengambil cuti selama seminggu untuk menghadiri pernikahan Anggi dan Dastan sama saja dengan melemparkan dirinya ke dalam jurang nestapa. Apalagi ini sudah menjelang akhir bulan, hal itu tentu saja membuat pekerjaannya menumpuk berkali-kali lipat.

Ponsel Prilly berdering, menampilkan panggilan video dari kekasihnya. Siapa lagi kalau bukan Aliando bucin Johansa? Dengan helaan napas pasrah, Prilly menerima panggilan video tersebut.

"Bie." Ujar Ali di seberang sana. Ali terlihat sama lesunya juga dengan Prilly, bahkan tumpukan berkas di depan Ali lebih menggunung dibandingkan milik Prilly.

"Banyak kerjaan?" Tanya Prilly sambil terkekeh. Ia menggeser ponselnya dan menyandarkannya pada kotak alat tulis agar Ali dapat melihat kegiatannya.

"Sebenarnya, aku ingin sekali datang ke ruanganmu. Tapi, huft lihatlah berkas di hadapanku." Ali mengarahkan ponselnya ke arah tumpukan berkas.

Prilly tertawa, "My hardworker Presdir, yang sabar ya, Sayang."

"Oh iya, lusa ada pertemuan dengan pengawas permodalan asing. Kamu bisa menemaniku 'kan?" Tanya Ali yang membuat Prilly mengangguk.

"Apakah ada berkas yang harus aku persiapkan?" Prilly menopang dagunya dan menggeser ponselnya agar mengarah ke depan wajahnya.

"Tidak usah. Semuanya sudah disiapkan oleh Hans," ujar Ali. Lupakan tentang sekretaris wanita yang cantik dan menarik, nyatanya Ali malah mempekerjakan sahabat masa kecilnya, Hans. Ali tidak ingin membuat Prilly tidak nyaman atau salah paham nantinya, ia ingin gadisnya tetap merasa sebagai prioritas.

"Tapi pertemuannya akan diadakan di Jakarta, jadi mungkin kita harus menginap semalam disana." Lanjut Ali.

"Aku ikut saja, Pak Presdir." Ujar Prilly pasrah.

"Pril. Ada hal serius yang ingin aku bicarakan padamu." Nada Ali berubah menjadi serius, hal itu membuat Prilly mengernyit bingung, "Ada apa?"

"Aku ingin mengajakmu untuk tinggal bersama," hampir saja Prilly memuncratkan air liurnya.

"Kenapa? Kamu keberatan ya?" Prilly melengos di tempatnya, "Kok mendadak banget sih? Dalam rangka apa?"

"Aku berniat melamarmu awal tahun baru nanti." Prilly benar-benar tersedak mendengar ucapan tiba-tiba Ali.

"Aku ke ruanganmu sekarang," Prilly mematikan panggilan secara sepihak. Ia benar-benar merealisasikan ucapannya, bergegas ke ruangan Ali. Saat membuka pintu ruangan, yang ia dapati adalah Ali yang duduk dengan wajah masam.

"Sekarang. Coba ceritakan apa maksud dari ucapanmu barusan? Gila. Aku hampir jantungan." Cibir Prilly.

"Satu, sudah kukatakan dari awal bahwa niatku memang serius denganmu."

"Yang kedua, aku ingin kita simulasi sebagai pasangan suami-istri sebelum nantinya menikah."

"Alasannya, heum mungkin karena aku sudah yakin denganmu. Aku tidak sabar menghabiskan sisa hidupku bersama denganmu. Intinya aku ingin mengikatmu, Bie." Ujar Ali tanpa keraguan.

"Tapi, mamamu saja belum merestui kita, Li? Bahkan dia berusaha untuk menjodohkanmu dengan anak kolega bisnisnya. Tidak sekarang. Aku belum siap. Orang tuamu masih belum memberi restu." Tolak Prilly.

Ali menggenggam lembut kedua tangan Prilly, gadis itu memalingkan wajahnya karena ia tidak tega melihat tatapan kecewa Ali. "Setidaknya, kita bisa tinggal bersama terlebih dahulu. Aku bisa sering mengajakmu ke Singapore dan mengunjungi mamaku. Kalian bisa menghabiskan lebih banyak waktu." Usul Ali.

BUANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang