"Aww...sshh..." rintihan Prilly sama sekali tak dihiraukan oleh Ali. Pria itu malah menatap Prilly dengan begitu dingin.
"Kemarin kamu tanya apakah saya masih mencintaimu atau tidak 'kan?"
"Saya sudah tau jawabannya, dan jawabannya adalah rasa saya telah memudar. Semua kebohongan dan sandiwaramu sudah tidak ada gunanya lagi."
Prilly terisak kencang sambil terus-terusan memohon kepada Ali, tangannya ia ulurkan sekali lagi untuk menahan langkah Ali. Lagi dan lagi, Ali mendorong tubuhnya dengan sekali hentakan kaki. Hal itu membuat tubuh Prilly kembali terhuyung. Tangan kanan dan kirinya sudah resmi menjadi korban pecahan beling.
"Bi Sari, kurung dia di kamar dan jangan biarkan dia keluar tanpa seizin saya. Pastikan dia diam di rumah dan tidak mengacau!" Perintah Ali lalu pergi sambil membopong tubuh Naura.
"Ali..."
"Ali. Tolong jangan tinggalkan aku."
"Ali...aku bersalah, aku minta maaf."
"Ali..." Prilly meraung dengan keras saat melihat tubuh Ali yang menghilang dari pandangannya.
Telapak tangan Prilly tidak berhenti meneteskan darah, bahkan pecahan kaca tersebut masih menancap sempurna pada kedua telapak tangannya. Tetapi, Prilly tidak dapat merasakan apa-apa selain sakit di hatinya.
"Non Prilly, biar bibi bantu obatin ya tangannya?" Tawar Bi Sari yang dihadiahi gelengan oleh Prilly.
"Biar saya obati sendiri saja di kamar, Bi." Prilly melangkah ke kamarnya dan Ali. Ia tidak berniat untuk mengobati lukanya. Darahnya menetes di lantai dan mengotori sprei yang ia tiduri. Namun, Prilly tidak peduli. Sakit pada fisiknya tidak seberapa dibandingkan sakit di hatinya.
Melihat kekasihnya menuduh dan tidak percaya kepadanya. Kekasihnya yang mengakui bahwa rasa cintanya telah memudar. Kekasihnya yang tidak mempedulikannya lagi. Sakitnya begitu lengkap dan sempurna.
Prilly terisak hingga tertidur, saat bangun dirinya menatap pada sisi sebelah ranjangnya yang kosong. Sudah pukul dua belas malam, tetapi Ali masih belum pulang juga. Prilly meringis saat merasakan tangannya yang terasa berdenyut dan perih. Dengan pelan-pelan, ia mencabut pecahan kaca yang cukup besar menancap di tangan kanan dan kirinya.
Prilly memutuskan untuk beredam di bathtub, ia sengaja menyalakan air dingin dan masuk tanpa melepas pakaiannya. Air yang putih transparan berubah warna menjadi merah samar. Darah di tangan Prilly masih tidak berhenti mengalir, bahkan semakin deras saat Prilly mencabut pecahan beling tadi. Gadis itu menutup matanya dan menikmati air dingin yang menemani tengah malamnya.
Sudah dua hari berlalu, tetapi Ali masih belum menampakkan batang hidungnya. Bahkan Prilly dikunci di dalam kamar dan makanannya dihidangkan di depan pintu, khas seperti tahanan. Ia mematut dirinya di cermin dengan tatapan miris, kakinya yang terkena siraman air panas tengah membengkak. Tangannya yang terkena pecahan beling koyak bahkan menampakkan daging kemerahan.
Kepala Prilly terasa begitu pusing, perutnya juga sangat tidak nyaman. Prilly sudah tidak makan selama dua hari, ia bahkan tidak mengganti bajunya sama sekali. Dengan langkah lemah, ia menyandarkan diri pada ranjang. Menyelimuti tubuhnya yang terasa begitu ringkih dan sakit.
Prilly mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi Ali, namun pria itu terus-menerus menolak panggilannya. Prilly tidak memiliki pilihan lain selain menunggu Ali untuk datang dan membebaskannya. Prilly menghembuskan napas pasrah saat melihat pesannya hanya dibaca oleh Ali.
* * *
Ponsel Ali berdering dan menampilkan nama 'Sagara'. Ia menolak panggilan itu, namun Sagara kembali meneleponnya. Dengan malas Ali mengangkat panggilan itu, "Ada apa anda mencari saya?"
"Gue dengar dari Prilly lo salah paham sama kita," ujar Sagara di seberang sana.
"Demi Tuhan, Li. Gue sama Prilly gak ada apa-apa. Di hari itu, gue cuma pure minta bantuan dia buat ngelamar pacar gue. Kalo lo gak percaya, lo bisa dateng dan temuin gue. Gue akan datang bersama pacar gue. Tolong jangan marah sama Prilly lagi, ini bukan salah dia. Dia cuma gak mau lo gak fokus sama kerjaan lo karena cemburu sama gue."
"Lo harus percaya sama pacar lo sendiri, Li. Dan setelah ketemu gue di hari itu, Prilly ketemu sama nyokap lo. Nyokap lo yang nyuruh dia nutup mulut buat jangan ngasih tau lo tentang pertemuan mereka."
"Gue harap lo bisa ngambil keputusan yang bijak, Li." Ali hanya bungkam mendengar rentetan penjelasan yang diucapkan oleh Sagara. Apakah benar jika gadisnya memang tidak berselingkuh? Dan apa kata Sagara tadi, gadisnya menemui mamanya? Tapi, untuk apa?
Ali memutuskan sambungan telepon Sagara dan duduk bersandar pada kursi di depan ruang rawat Naura. Sudah tiga hari, ia tidak pergi ke kantor dan menginap di rumah sakit. Bio datang dan menepuk pundak Ali dengan pelan, "Terima kasih telah menjaga Naura."
Ali mengangguk singkat, "Maaf karena kecerobohan saya, Naura menjadi seperti ini."
Bio menggeleng sambil tersenyum kecil, "Bukan salahmu sepenuhnya, Naura sudah siuman dan dia ingin berbicara kepadamu." Ali beranjak dari tempatnya dan memasuki ruang rawat Naura.
Ia menatap Naura dengan tatapan yang sulit diartikan, seluruh tubuh sahabatnya dipasang kabel yang Ali tidak mengerti untuk apa. Naura terbaring lemah dengan hidung yang dipasang alat bantu pernapasan. Ia menatap Ali dengan tatapan sayu.
"Al..." suara Naura terbata.
"Bukan salah Prilly."
"Dia...dia tidak tau aku alergi jahe."
"Dia memasak sup itu dengan susah payah untukmu."
"Dia sangat mencintaimu." Napas Naura terengah-engah setelah mengatakan rentetan kalimat panjang.
Wajah Ali tampak terkejut sekaligus merasa bersalah mendengar penuturan Naura. Fakta mengejutkan apalagi ini? Setelah pengakuan dari Sagara tadi, sekarang pengakuan dari Naura. Apakah ia telah menyakiti gadisnya?
"Terima kasih telah memberitahuku, Nau. Semoga kamu cepat sembuh, aku harus segera pulang." Pamit Ali.
Dadanya bergemuruh saat ia membuka ponselnya dan membaca pesan dari Alvis. Alvis mengatakan bahwa Prilly berulang tahun hari ini dan gadis itu tidak dapat dihubungi sejak tadi malam. Ya Tuhan, fakta mengejutkan apalagi ini?
Ali benar-benar lupa tentang hari ulang tahun Prilly karena dirinya terlalu sibuk dengan ego dan kemarahannya. Gadis itu pasti menunggunya di rumah. Ali harus mampir ke toko bunga terlebih dahulu untuk membelikan gadis itu bunga. Ia harus meminta maaf kepada Prilly.
Ponselnya kembali berdering dan menampilkan nama 'Bi Sari'. Dalam hati Ali bertanya-tanya apa yang terjadi? Bi Sari tidak pernah meneleponnya sejak kejadian hari itu, lantas mengapa asisten rumah tangganya menelepon hari ini?
"Tuan Ali. Tuan Ali..."
"Bi? Bi, ada apa, Bi?" Ali menangkap suara panik Bi Sari.
"Non Prilly mengunci pintu kamarnya dari dalam, dia sudah tidak makan tiga hari. Bahkan bibi melihat banyak darah yang menetes hari itu, Tuan."
"Darah?" Beo Ali.
"Iya, tangan Non Prilly berdarah. Mungkin kena pecahan mangkuk kaca tempo hari. Dan Non Prilly tidak mau diobatin, Tuan. Sekarang, saya dan pelayan lain sudah mencoba menggedor pintu kamar Non Prilly. Tetapi tidak ada sahutan dari dalam..."
"Bibi takut terjadi apa-apa dengan Non Prilly, Tuan." Ali mematikan sambungan teleponnya dan berlari kencang menuju parkiran. Ia membelah jalanan dengan kecepatan di atas rata-rata, yang ada di pikirannya hanya keselamatan Prilly.
"Bie, tolong bertahan." Ujar Ali dalam hati.
* * *
Ampuuunnn...sampe diteror sama kalian di message wkwk.
Enjooyyy huruuu-haraaa yang akan menjadi konflik klimaks mereka:) & setelah ini siap-siap berpikir keras dan menyusun teka-teki, kawan!
KAMU SEDANG MEMBACA
BUANA
Fanfiction"Kamu adalah pelangi dalam buana-ku. Tempat di mana seluruh warna bertitik temu." Aliando Johansa, Presiden Direktur PT. Amarta Buana. Seseorang yang kaku dan serius dalam menjalani kehidupannya. Hidupnya mewah dan keinginannya selalu terpenuhi, tet...