Setelah selesai melakukan perawatan, Prilly kembali ke kantor. Saat hendak melangkahkan kaki ke dalam ruangannya, ia melihat siluet tubuh seseorang yang duduk bersandar di depan ruang tunggu ruangannya. Prilly melirik ke arah jam tangannya, "Jam dua," bisiknya pelan.
Orang tersebut berdiri tegap saat melihat kehadiran Prilly, "Ayo, kita lunch bareng."
Prilly mendengus, "Jam makan siang sudah lewat, Mr. Johansa."
"Kita bisa makan bersama di dalam ruangan kamu," balas Ali tidak peduli.
"Dasar sinting," dumel Prilly. Ia tidak mempedulikan Ali, tangannya hendak memindai kartu akses untuk masuk ke dalam ruangan.
Jangan panggil Aliando Johansa kalau saja dia tidak selangkah lebih sigap dibandingkan Prilly. Ia merampas kartu akses milik Prilly, "Jika ingin mengambil kembali kartu ini, kamu harus makan siang bersamaku."
"Tidak bisa dan tidak akan pernah. Segera kembalikan kartu saya," nada suara Prilly merendah dan terlihat sangat jengkel dengan tingkah kekanakan Ali.
"Hanya makan siang bersama, apa susahnya sih, Bie? Lagipula itu adalah rutinitas kita dulu," ungkap Ali.
"Hentikan pembicaraan seputar masa lalu. Saya tidak ingin mengingatnya kembali," balas Prilly. Tangannya mencoba meraih kartu akses dari Ali, tetapi berulang kali gagal.
"Oke, oke, karena kamu tidak suka membicarakan tentang masa lalu. Bagaimana tentang masa depan?" Ali mendudukkan dirinya kembali di sofa.
Prilly tertawa remeh, "Hentikan khayalan konyol anda. Tidak akan ada masa depan tentang saya dan anda."
"Kamu adalah milikku dan selamanya akan tetap begitu, Bie. Aku tidak peduli, mau kamu sama Davino atau siapapun itu. Pada akhirnya, cuma aku yang akan menjadi pelabuhan terakhirmu."
"Saya bilang stop! Hentikan ini semua. Tidak bisakah kamu melepaskan saya?" Prilly bertanya dengan nada frustasi.
"Asal anda tau, alasan saya tidak akan pernah kembali di sisi anda bukan hanya karena kejadian setahun silam. Bukan, bukan, hanya karena itu." Dada Prilly terlihat naik-turun penuh emosi.
Mata Ali menatap Prilly dalam, "Lantas mengapa, Bie? Selama kamu mengizinkan aku untuk menebus kesalahanku dulu, aku akan mengabulkan semua permintaan kamu. Semuanya. Sekali pun harus mengorbankan seisi duniaku."
"Karena saya tidak akan pernah diterima oleh keluargamu! Saya tidak pantas bersanding dengan orang sesempurna kamu. Kamu tau? Bahkan ibumu yang terhormat itu rela mengeluarkan uang bukan hanya miliar, tapi triliunan hanya untuk menyingkirkan gadis hina seperti saya."
"Tapi, saya masih tetap mempertahankan harga diri sekaligus cinta saya. Tidak sampai disana saja, ibumu yang terhormat itu mengerikan, Ali! Dia akan menghalalkan segala cara untuk menghancurkan hubungan kita. Dia akan menyingkirkan satu persatu orang yang saya sayangi. Dan saya bukan perempuan bodoh yang akan mempertaruhkan keluarga hanya untuk cinta, Ali."
"Meskipun saat itu, saya masih optimis bahwa kita pasti akan bisa melewatinya bersama-sama. Pasti ada jalan keluarnya. Tapi, apa yang kamu lakukan disaat saya ingin mempertahankan hubungan kita? Kamu tidak pernah benar-benar mempercayai saya, kamu hanya mempercayai apa yang kamu lihat dan kamu yakini." Bukannya menangis, Prilly malah menceritakan semuanya dengan nada yang sangat tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUANA
Fanfiction"Kamu adalah pelangi dalam buana-ku. Tempat di mana seluruh warna bertitik temu." Aliando Johansa, Presiden Direktur PT. Amarta Buana. Seseorang yang kaku dan serius dalam menjalani kehidupannya. Hidupnya mewah dan keinginannya selalu terpenuhi, tet...