40. Perang Dingin

1.5K 218 112
                                    

"Habis dari mana saja kamu?" Tidak ada nada lembut ataupun senyuman manis yang bertengger pada wajah Ali. Yang ada hanyalah tatapan dingin dan nada penuh penekanan.

"Mengurus sesuatu," balas Prilly sekenanya. Ia tidak tahu apa langkah selanjutnya yang harus dia ambil; egois dengan mempertahankan hubungannya dan bersiap menerima konsekuensi terburuk atau mengingkari janjinya kepada Ali dan meninggalkan pria itu?

Ali terkekeh sinis, "Mengurus sesuatu dengan seorang pria di dalam kamar hotel? Itu yang kamu sebut sebagai urusan penting?"

"A...Ali, kamu tau?" Prilly terkejut bukan main.

"Kenapa? Kamu terkejut? Merasa bersalah? Atau malah menganggap aku terlalu bodoh? Bodoh karena selama ini ditipu oleh seseorang yang sangat aku cintai?"

"Ali, tolong dengar penjelasanku terlebih dahulu."

Ali bungkam, Prilly menghela napasnya panjang, "Sagara memintaku untuk menemuinya di hotel. Dia akan melamar pacarnya disana, dia butuh bantuanku untuk mendekor kamar hotel."

"Kenapa kamu tidak memberitahuku terlebih dahulu?" Tanya Ali.

"Iya, itu salahku. Maaf. Aku hanya takut kamu gegabah dan malah memaksa untuk menemaniku, kan kamu ada pertemuan dengan investor asing."

"Lalu, kenapa kamu membohongiku dan mengatakan bahwa kamu sedang di kantor?" Tanya Ali lagi.

Prilly menggenggam tangan Ali, namun pria itu tidak membalas genggamannya, "Maafkan aku, maaf karena telah berbohong. Aku hanya tidak ingin kamu berpikir yang macam-macam."

Ali tertawa sumbang, "Pikiranku akan lebih negatif lagi jika mendapati pacarku berduaan di kamar hotel dengan lelaki lain, sambil berpelukan dan berpegangan tangan."

"Tolong jangan menyiksaku seperti ini, Pril." Ali melepaskan genggaman tangan Prilly, "Jika kamu sudah tidak mencintaiku, tolong beritahu aku. Jangan berkhianat seperti ini."

Prilly menggeleng keras, "Tidak, aku tidak pernah berniat untuk mengkhianatimu. Tolong percaya padaku."

"Kenapa kamu menolak untuk pulang bersamaku? Apakah mendekor kamar hotel membutuhkan waktu tiga jam?" Ali kembali melontarkan pertanyaan.

Bibir Prilly terkatup rapat, ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia bertemu dengan Resi dan diberikan penawaran yang tidak ada jalan keluarnya kan? Tawa Ali bertambah nyaring, "See? Kamu tidak bisa menjawab. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling terbuka dan mengkomunikasikan apapun?"

"Aku bertemu dengan seseorang," jawab Prilly.

"Siapa?" Desak Ali.

"Maaf, aku tidak bisa memberitahumu."

"Di hotel itu juga?" Prilly mengangguk.

Ali ikutan mengangguk, wajahnya terlihat begitu pias, ia menjambak rambutnya frustasi. "Aku benar-benar salah menilaimu, Pril." Nada Ali merendah, ia bahkan menendang nakas di sebelahnya. Prilly terlonjak kaget karena suara tendangan yang ditimbulkan Ali.

"Ali, aku minta maaf."

"Aku terlanjur kecewa kepadamu. Sekarang, terserah. Terserah, Pril."

"Ali, kamu sudah tidak mencintaiku lagi?"

"Aku...aku yang seharusnya bertanya seperti itu padamu!" Seru Ali marah.

"Aku pergi keluar untuk mencari udara segar. Kamu, istirahatlah. Sudah malam," lanjut Ali dengan nada datar. Ia keluar dari kamar dengan perasaan yang sangat kacau. Prilly dihantui rasa bersalah dan kekacauan yang sama. Meskipun Ali sangat kecewa dan marah kepadanya, tetapi pria itu tetap sangat perhatian.

BUANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang