46. Pertemuan Kembali

929 118 21
                                    

Prilly terlihat begitu fokus dengan penjelasan Pak Benjiro. Sedangkan pria di hadapannya begitu fokus melirik ke arah wajah serius Prilly. Prilly memalingkan wajahnya saat mata mereka bertemu pandang. Ali tersenyum tipis, ia belum pernah melihat sisi menggemaskan Prilly yang seperti ini. Terlihat begitu menghindarinya.

"Sambil dimakan makanannya, Miss Lily." Prilly mengangguk mendengarkan ucapan Diana, sekretaris Pak Benjiro. Ya, memang perjamuan ini sengaja diadakan Pak Benjiro untuk membahas perihal akuisisi Haruka Group.

"Anda tidak memakan wasabi, Miss Lily?" Tanya Diana berbasa-basi.

"Dia tidak bisa memakan wasabi, Diana." Ali menyumpit secuil wasabi yang terletak di samping piring Prilly.

Gadis itu mendongakkan kepalanya sambil menatap Ali lama, kemudian ia tersenyum tipis. "Terima kasih, Mr. Johansa. Saya cukup tersanjung dengan kepedulian anda. Tetapi, sebenarnya saya suka memakan wasabi." Prilly kembali menyendokkan wasabi yang disediakan di meja. Lalu, melahapnya seolah itu adalah makanan utama.

Sagara yang duduk di sebelah Prilly hanya bisa menutup mulutnya menahan tawa. Lihatlah gadis ini begitu menyiksa dirinya sendiri. Wajah dan telinganya bahkan sudah memerah.

"Saya permisi ke toilet terlebih dahulu," ujar Prilly sambil tersenyum tenang. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke toilet terdekat.

Sesampainya di toilet, Prilly memuntahkan sisa wasabi yang bersarang di mulutnya. Ia mencuci mulutnya dengan air keran. Napasnya tersengal-sengal saat rasa pedas dan dingin wasabi masih memenuhi mulut dan tenggorokannya.

Dari arah samping, suara pintu utama toilet tertutup rapat. Prilly mengalihkan pandangannya dan menatap orang yang berjalan ke arahnya dengan horor. Sedangkan pria itu terus berjalan dengan santai, "Jangan terlalu memaksakan diri untuk menjadi Lily, Bie."

"Ini toilet wanita, Mr. Johansa."

"Aku tau. Toh wanitaku sedang berada di dalamnya."

"Hentikan omong kosong anda." Ujar Prilly kesal.

"Kamu tidak mencintaiku lagi?"

"Tolong jangan bersikap tidak sopan, Mr. Johansa. Ini toilet wanita dan saya minta anda keluar dari sini." Prilly sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan Ali.

"Tidak ada siapapun disini." Balas Ali.

"Gila. Segera keluar dari sini." Ujar Prilly tegas.

"Halo? Halo? Ada orang?" Ali berteriak sambil mendorong satu per satu pintu bilik.

Prilly melotot, "Jangan berteriak! Apakah anda tidak takut didengar oleh orang lain?"

"Takut? Bukankah jika kita digebrek, malah lebih bagus? Kita akan dinikahkan."

"Anda benar-benar sudah tidak waras." Prilly menghela napas pasrah, ia hendak keluar menuju pintu utama toilet. Namun, tubuhnya ditahan oleh tubuh besar Ali. Ali mendekapnya dari belakang.

Dalam sepersekian detik, Prilly langsung melepaskan dekapan Ali.

"Aliando Johansa yang terhormat, tolong jauhi saya."

"Kenapa, Bie?" Prilly terkekeh, "Anda mau tau jawabannya?"

Ali mengangguk sedih, Prilly mengangguk paham, "Sederhana, karena saya telah memiliki tunangan. Davino Abraham, namanya."

Ali menatap Prilly dengan tatapan yang sulit diartikan, "Kamu bohong 'kan?"

"Terserah anda mau percaya atau tidak. Lagipula apa bedanya saya berkata bohong atau jujur, anda tidak pernah percaya 'kan?" Ali menggeleng, "Aku selalu percaya kepadamu, Bie."

BUANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang